Dia Datang Malam Ini
Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai. Mengajaknya pergi ke suatu tempat, sekadar menghilangkan kepenatan. Tidak hanya terpaku menanti kehadiran seseorang di ambang pintu yang kerap terbuka.
Almira menghela napas panjang. Ia tidak lagi berdiri di ambang. Ia putuskan duduk di sofa setelah lelah hanya berdiri. Pintu tetap ia biarkan terbuka lebar. Meski keyakinan pada diri mulai menipis.
Suaminya tidak akan pulang malam ini. Seperti malam-malam kemarin. Penantiannya akan berujung pada kesiaan. Padahal betapa ia berharap, ada sesosok membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gembok. Sesosok itu mendekat padanya. Merangkumnya erat dalam dekapan. Mendaratkan ciuman hangat pada bibirnya. Di antara desah napas yang makin memburu, sesosok itu mengajaknya memuncaki bulan seperti di awal-awal pernikahan mereka. Tapi tak pernah. Sampai ia tertidur di sofa, lalu pagi membangunkannya, sesosok itu tak pernah pulang lagi. Apalagi mengajak memuncaki bulan.
Almira menatap jam dinding. Tengah malam tepat. Dimana suaminya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Mabuk-mabukan di sebuah pub? Menggoyangkan tubuhnya serupa cacing kepanasan di sebuah diskotik? Atau seperti bisik-bisik tetangga, tengah memuncaki bulan dengan seorang perempuan yang ia kutip dari pinggir jalan?
Almira mendegut ludah. Omongan tetangga tidak saja membuat telinga panas, tapi sudah membakar hati. Mengelus dada, pilihan terakhir yang dia ambil, setelah berusaha bertanya pada suaminya. Karena selalu menanyakan kebenaran itu sama saja dengan menambah luka bathin. Ucapan suaminya, membuat ia tercampak pada cadas batu. Mengingatkan kalau ia tidak sempurna sebagai seorang perempuan.
Sepuluh tahun mengarungi lautan pernikahan, suaminya tidak hanya butuh tubuh hangatnya di malam-malam sunyi, atau menyiapkan makanan di meja dan mengurus segala keperluannya. Suaminya menginginkan anak darinya. Itu yang tidak bisa ia beri. Karena ia tak lebih seperti ilalang, tumbuh subur tanpa pernah berbunga apalagi berbuah.
Dari sofa, Almira menatap keluar. Hitam berjelaga. Samar berbayang bunga asoka melambai-lambai tertiup angin yang semakin kencang. Angin itu seolah mengabarkan, hujan hampir tiba.
Tidak lebih lima menit kemudian, hujan benar-benar sampai. Ia mampir di atap rumah Almira, di halaman depan, bahkan juga mampir pada tangan-tangan asoka yang terus melambai.
Angin terasa lebih kencang lagi basah. Dingin semakin mengental. Almira putus harapan. Suaminya tidak akan pulang lagi malam ini. Tidak mungkin dalam cuaca sekacau ini, suaminya berlari menerobos hujan dan dingin hanya untuk berlabuh pada tubuhnya yang juga dingin.
Akhirnya Almira menutup pintu depan. Sebelum membuka pintu kamar lirikan matanya membentur jam dinding. Pukul 02.25 WIB.
Malam ini, lagi-lagi Almira akan bercinta bersama sepi, di atas ranjangnya sendiri.
***
Siang berkerak. Almira sedang beberes di dapur ketika suaminya datang. Gegas Almira mencuci tangan, melepas celemek yang melekat di tubuh dan merapikan rambut yang pasti berantakan, dengan sisiran tangan kanan. Ia ingin tampil menawan di depan suaminya.
Tanpa menatap, apalagi mengajak bercakap, suaminya masuk ke dalam kamar. Almira mengekor dari belakang, melepas beberapa semacam pertanyaan.
"Abang dari mana?"
"Kerja."
"Sampai dua minggu?"
"Keluar kota ," sahut suaminya, dingin melebihi es. Ia lepas dasi yang mengikat leher. Busana yang ia kenakan sangat rapi, wajahnya sesegar buah yang baru dipetik. Tidak terlihat kusut dan lelah seperti baru pulang dari luar kota.
"Abang tidak pamit. Aku cemas menunggu."
"Apa harus?"
"Tentu saja."
Bibir suaminya merapat. Sama sekali tidak ada celah walau hanya sekadar untuk keluar masuk udara. Setelah melepas baju suaminya telentang di atas ranjang. Kedua matanya memejam.
Almira tidak akan menyerah lalu keluar dari kamar. Kali ini, ia harus tahu darimana saja suaminya selama dua minggu ini. Apa-apa saja yang ia lakukan, dan mengapa ponselnya selalu tidak aktif ketika Almira hubungi.
"Dari mana saja Abang dua minggu ini?"
"Kau ingin tahu?" pada dingin suara itu, Almira mendengar ada campuran rasa jengkel.
"Ya."
"Aku berkemah di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak."
"Untuk... apa?"
"Untuk apa katamu? Apa lagi yang bisa kulakukan di sana selain menatapi bocah-bocah mungil itu dan membayangkan betapa bahagianya aku, jika salah satu dari mereka berlari kepadaku seraya meneriakkan kata Papa," ucapan itu, seperti peluru yang muntah dari moncong. Melesat cepat lalu bersarang tepat di jantung Almira.
Tanpa kata, tanpa menatap, Almira mundur, keluar dari kamar. Setelah daun pintu tertutup, tubuhnya bersandar di sana . Kembali suaminya menanam luka di hati Almira. Jika boleh memilih, lebih baik suaminya meninggalkan lembam biru di sudut mata Almira ketimbang harus mendengar ucapan itu. Karena lembam biru itu akan tersaput oleh waktu. Sementara ucapan itu akan tetap bersarang di hati Almira.
***
Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai. |
Almira berdiri tepat di ambang. Menatap pada langit, yang lebih mirip karpet hitam terbentang lebar. Entah kemana bulan juga bintang pergi malam ini. Mereka hanya meninggalkan hitam pada langit.
Angin bertiup lebih kencang lagi. Suaranya mendesis-desis di telinga Almira. Ia menelan nafas pelan-pelan. Kemana lagi suaminya pergi malam ini? Terkadang, Almira malas menebak-nebak. Karena pada akhirnya, selalu ia tidak tahu apakah tebakannya benar atau tidak. Karena setiap kali ia bertanya pada suaminya, bukan jawaban yang ia terima. Justru suaminya akan mencampakkan Almira pada cadas batu. Padahal Almira sudah cukup senang, andai suaminya mau menjawab. Walau ia harus mendengar jawaban dusta.
Almira bersandar pada sisi pintu dengan mendekap tangan di dada. Sunyi terasa mencekik perasaan. Saat seperti ini, ia ingin suaminya ada di sampingnya. Tidak perlu merayunya dengan ucapan beraroma anggur memabukkan. Cukup jemari tangan mereka saling mengulum dan mata mereka menatap sepenuh kagum pada bocah yang belajar merangkak di lantai. Lalu Almira akan terpekik bahagia ketika dari mungil bibir si bocah itu terucap kata mama dengan nada patah dan kaku.
Impian sangat sederhana, tapi tak akan pernah bisa terwujud. Ia bukan perempuan sempurna. Sejak sembilan tahun lalu dokter sudah membuat segalanya mustahil ketika mereka mengangkat rahim Almira. Ditambah suaminya menolak tegas, ketika Almira berhasrat mengangkat seorang anak.
Malam semakin mati. Bangkainya berserakan di halaman rumah, meninggalkan aroma dingin. Dingin itu terasa berkeliaran. Menyentuh-nyentuh kulit Almira. Bahkan terkadang terasa sampai mencubiti tulangnya. Tetapi Almira tidak akan menghindarinya dengan cara menutup pintu rapat-rapat lalu bergelung di balik selimut dalam kamar.
Almira tersentak, di hitam langit, ada segaris cahaya berkilau, lalu meletuskan suara guntur. Tipis-tipis hujan menari. Mampir di depan rumah. Ia mendesah. Setiap menunggu suaminya di ambang pintu, mengapa selalu saja diakhiri oleh hujan?
Akan ia mengalah pada hujan, ketika samar ada bayangan yang mendekati pintu pagar. Bayangan itu membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gempok Almira dikepung bahagia. Itu pasti suaminya.
Ada senyum di bibir Almira. Bayangan itu sudah menjelma menjadi suaminya, berdiri tepat di hadapannya. Senyum Almira rontok melihat sesuatu di gendongan suaminya.
"Apa itu?"
"Bayi. Untukmu."
"Bayi siapa?"
"Penting bagimu ini bayi siapa?"
Almira mematung, menatap bayi itu. Sigap tangannya menangkap, ketika suaminya menyerahkan padanya.
Suaminya melangkah masuk. Almira mengekor dari belakang.
"Abang katakan dulu, ini bayi siapa?"
"Urus saja. Dulu, kau yang ribut ingin mengadopsi anak."
Almira membuka kain yang menutup wajah bayi itu. Mata bayi itu terbuka, lalu sudut bibirnya memanjang, membentuk sebuah senyuman. Almira tersentak. Wajah itu seperti jelmaan suaminya. ©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar