CHAPTER 1:
MEMBELI RUMAH KUNO
Pesta sederhana itu berlangsung cukup meriah. Berkali-kali Pak Wibisono saling berpandangan dengan istrinya, saling tersenyum dengan manis, menandakan kebahagiaan sekaligus kepuasaan. Para tamu undangan yang datang dari jauh adalah mereka yang mulai hari ini resmi menjadi mantan tetangga. Kedatangan mereka adalah bukti bahwa Pak Wibisono sekeluarga tetap disayangi dan dihormati, bahkan mungkin disayangkan kepergiannya. Tamu yang lain adalah orang-orang sekitar yang akan menjadi tetangga baru.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah.
Sentuhan istrinya itu membuat Pak Wibisono tersadar dari lamunannya. "Ya? Apa?"
"Sudah cukup larut...," bisik Ibu Wibi. Pak Wibisono mengerti maksud istrinya. Sudah waktunya memberikan pidato singkat berisi ucapan terima kasih dan selamat jalan. Pesta selamatan pindah ke rumah baru ini akan segera diakhiri. Pak Wibisono cepat bergeser dari posisinya sambil mengedarkan pandangan. Benar, para tamu telah selesai dengan hidangan penutup. Ia berjalan menuju ke sudut kosong, menepuk tangan beberapa kali untuk meminta perhatian para tamu.
Para tamu serentak memandang ke arah Pak Wibisono dan menghentikan kesibukannya masing-masing.
"Bapak dan ibu sekalian...." Pak Wibisono membuka suara. Tapi suaranya tertelan kembali manakala tiba-tiba terdengar suara amat berisik dan lantang dari balkon.
Serentak semua mata memandang ke atas. Seorang gadis manis berada di balkon, menari berputar-putar sambil bernyanyi-nyanyi sembarangan dengan suara keras dan melengking.
"Mila!" Ibu Wibi dengan panik berseru ke arah putrinya.
Miko untuk sesaat seperti takjub dan terpesona melihat kelakuan adiknya itu.
Namun ketika teriakan dan pelototan Ibu Wibi tak juga menghentikan keanehan Karmila, dengan cepat Miko berlari menaiki anak tangga untuk mendapatkan adiknya.
"Mila! Apa-apaan kamu?! Tidak tahu malu! Siapa suruh kamu ngasih hiburan?"
Miko mendorong tubuh adiknya, menjauh dari pagar balkon agar Karmila tak terlihat oleh orang-orang lagi dari bawah.
Karmila mendadak menghentikan gerakan dan nyanyiannya. Ia menatap saudara tuanya dengan pandangan beringas.
Tanpa sadar Miko melangkah mundur. Ini untuk pertama kalinya ia memperoleh sikap adiknya yang begitu aneh. Mata itu begitu buas dan penuh ancaman!
"Mila! Kamu kenapa?" Tiba-tiba Miko merasa cemas.
Tak ada jawaban, melainkan teriakan dengan irama yang menyakitkan telinga. Sebuah nyanyian, lagu anak-anak dengan nada yang amat sumbang.
"Pelangi-pelangi... alangkah indahnyaaaa...."
Terdengar tawa dan tepuk tangan dari bawah. Terdengar suara Ibu Wibi meminta maaf. Memalukan sekali! Miko bergerak mendekap mulut Karmila, namun Karmila semakin meronta bahkan menggigit telapak tangan kakaknya. Pada saat keduanya masih bergumul, Pak Wibisono telah pula sampai di atas.
"Ada apa? Apa maunya kamu, Mila?!"
Pak Wibisono menghardik, berusaha menutup rasa malunya terhadap tamu-tamunya dengan mengeluarkan suara amarah yang tak kalah lantangnya.
"Mendadak dia kayak kerasukan setan, Pak. Tangan saya malah digigitnya!" Miko yang menjawab sambil terus memegangi tubuh adiknya. Sementara itu Karmila terus bernyanyi dan semakin ngawur.
Plak!
Di luar dugaan, Pak Wibisono menampar pipi putrinya dengan cukup keras. Miko sempat tercengang melihat tindakan ayahnya. Tapi ia lebih terkejut lagi ketika melihat tubuh Karmila mendadak mengejang dan mendadak pula terkulai. Miko dengan sigap memeluk tubuh adiknya sebelum terjatuh.
Hanya beberapa detik tubuh Karmila terkulai tak berdaya. Dalam waktu yang amat singkat, mata Karmila yang semula terpejam telah terbuka. Beberapa kali mata itu terkerjap. Karmila menampakkan ekspresi kebingungan.
"Lho? Ada apa ini?" Karmila meronta dari pelukan kakaknya.
"Mila?" Miko menatap cemas. "Kamu kenapa? Kamu... kamu... tidak apa-apa?"
Karmila nampak semakin kebingungan. "Memangnya saya kenapa?"
"Miko, bawa adikmu masuk ke kamar, sementara Bapak mengurus tamu-tamu. Kamu paham?"
Miko mengerti maksud ayahnya. "Mari ke kamar, Mila!" bujuknya sembari menarik tangan adiknya.
Pak Wibisono telah turun lagi ke lantai bawah, menjumpai tamu-tamunya. Ia meminta maaf atas gangguan kecil yang telah ditimbulkan oleh Karmila, putrinya. Sesaat kemudian para tamu menyalami dan berpamitan.
Setelah suasana sepi, Pak Wibisono menutup semua pintu, lalu dengan tergesa-gesa naik ke lantai atas.
Di kamar putrinya itu, Ibu Wibi tengah menanyai Karmila dengan perasaan cemas.
"Aneh kan, Pak?" Ibu Wibi menatap suaminya kebingungan. "Mila sama sekali lupa dengan apa yang telah dilakukannya tadi..."
Pak Wibisono menatap Karmila meminta penjelasan. Karmila masih duduk sambil mendekap bantal. Barkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mila sungguh-sungguh tidak mengerti, tidak ingat apa-apa. Sumpah! Rasanya... Mila tidak ngapa-ngapain. Tadinya cuma pusing... dan Mila kan sudah ngomong sama Ibu, bahwa Mila sedikit pusing dan ingin rebahan dulu di kamar. Setelah itu... rasanya Mila ketiduran... lalu?"
"Kamu tidak sadar bahwa kamu sudah bikin kacau dan malu-maluin?!" Miko membentak, membuat Karmila sedikit ketakutan."
"Mila bingung!" jerit Karmila.
Pak Wibisono menggeleng ke arah Miko. Menyuruh putranya itu diam. Ia tidak mau Miko menyudutkan Karmila yang tidak tahu apa-apa. Gadis itu semakin terpuruk. Dan ia masih terguncang dengan kejadian yang sama sekali tidak disadarinya itu.
Ia mendekati Karmila, lantas membelai kepalanya dengan lembut.
"Kamu mungkin terlalu capek karena sehari ini bantu-bantu Ibu. Sekarang tidurlah. Masih pusing?"
"Tadi Bapak menampar Mila?"
"Maafkan Bapak...." Pak Wibisono menyentuh pipi Karmila dengan lembut.
Hari semakin larut. Sudah menjelang pukul satu dinihari. Karmila sudah tidur setengah jam yang lalu, setelah Ibu Wibi setengah memaksanya minum aspirin. Tapi Pak Wibisono bersama istri dan anak lelakinya seperti tak ingin segera tidur. Mereka masih membicarakan keanehan yang barusan terjadi. Ibu Wibi mengambil kesimpulan yang cukup menakutkan; Karmila kerasukan setan!
"Mungkin saat itu pikiran Mila tengah kosong, dan...."
"Lalu, arwah siapa?! Jangan-jangan rumah ini 'berpenghuni'?!" Miko menyela dengan mimik ringis.
"Jangan berpikir aneh-aneh, Miko! Kamu mulai lagi terpengaruh film-film horor!"
Ibu Wibi sedari tadi lebih banyak berdiam diri, tapi sesungguhnya ia merasa kahawatir dan ketakutan.
Pagi-pagi sekali ada tamu yang datang. Seorang tetangga baru, laki-laki setengah umur yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman baru keluarga Wibisono.
"Kebetulan saya lewat hendak ke kampung sebelah, lalu mampir," kata laki-laki itu, namanya Pak Wisnu, menjawab keheran Pak Wibisono. "Saya semalam juga datang...."
"Oh, ya. Tentu saja saya masih ingat." Padahal sesungguhnya Pak Wibisono telah lupa. Ia belum bisa mengingat dan belum tahu siapa-siapa persis orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
"Mengenai putri Bapak semalam...."
Sampai di situ, Miko yang tengah mengelap sepeda untuk pergi ke sekolah merasa terusik. Ia menghentikan kesibukannya dan menguping pembicaraan ayahnya dengan Pak Wisnu.
"Apakah Ananda dalam keadaan baik-baik saja?"
Pak Wibisono tertawa kecil. "Karmila tidak apa-apa. Semalam ia hanya merasa kecapekan, lalu begitulah," Pak Wibisono mengangkat bahunya, "sedikit bertingkah aneh. Ah, namanya juga anak-anak."
"Tapi, nyanyiannya itu...?"
Miko merasa amat tertarik.
"Ada apa dengan nyanyiannya? Lucu, ya?" tanyanya akhirnya, setelah tak mampu membendung rasa penasaran. Ia nimbrung kini, melemparkan kain lapnya ke samping sepeda. Berdiri, lalu berjalan menghampiri ayahnya dan Pak Wisnu.
Pak Wisnu seperti menggumam. "Mengingatkan saya pada...."
"Apa, Pak?" Pak Wibisono dan Miko bertanya serempak. Rasa penasaran mereka semakin membuncah.
"Niar."
"Niar? Siapa Niar?! Putri Bapak?" tanya Miko.
"Niar, putrinya Pak Sindhu." Pak Wisnu mengerutkan keningnya, ada bayang ragu tergambar di wajahnya.
"Maksudnya, Sindhu yang dulunya pemilik rumah kami ini?" tanya Pak Wibisono. "Tapi, bukankah Pak Sindhu tidak punya anak? Setahu saya, Pak Sindhu itu seorang duda tanpa anak."
"Pak Sindhu punya anak. Seorang. Namanya Niar. Dulunya... Niar juga suka menyanyi. Anak-anak memang suka bernyanyi, kan?"
"Biasanya begitu," Miko yang menjawab. Ia semakin tertarik dengan setiap ucapan Pak Wisnu. "Oh, jadi sebenarnya Pak Sindhu punya anak perempuan yang bernama Niar. Lalu, di mana sekarang? Ikut ibunya?"
"Ibunya... istri Pak Sindhu telah meninggal dunia, Miko." Pak Wibisono menjelaskan.
Miko masih sangat ingin berbincang-bincang dengan Pak Wisnu, tetapi nampaknya Pak Wisnu agak tergesa-gesa. Sebelum berbicara lebih banyak, ia telah berpamitan. Miko tak punya alasan untuk mencegahnya.
"Mila dipulangkan dari sekolahnya, Miko. Dia sakit...."
Miko menjumpai adiknya terbujur lesu di kamar. Tubuhnya demam. Ibunya telah memberi obat penurun panas dua jam yang lalu, tapi sampai kini suhu badannya tidak juga segera turun.
"Cuma demam biasa kan, Bu? Nanti sore kalau belum membaik, kita bawa ke dokter."
Ibu Wibi mengangguk setuju.
Siang itu Miko makan siang hanya berdua dengan ibunya. Biasanya mereka makan bertiga dengan Karmila. Tapi di tengah acara makan siang yang tak riang itu, tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari kamar Karmila. Seketika Miko dan ibunya teringat kejadian semalam. Miko naik ke lantai atas dan langsung menerjang pintu kamar Karmila.
"Mila?!"
Karmila tak lagi terbujur tak berdaya di atas kasur, melainkan berputar-putar di atas ranjangnya. Bernyanyi dan menari.
"Balonku ada lima... rupa-rupa warnanya... hitam putih...."
"Mila!" gerakan Miko terhenti. Selanjutnya ia berdiri dan memandang tingkah adiknya dengan seksama. Tarian dan lagunya asal-asalan. Dan... suara itu... suara itu bukan suara Karmila!
Miko menegaskan pendengarannya. Bukan suara Karmila yang telah diakrabinya hampir seluruh hidupnya, namun melainkan suara anak perempuan. Kecil dan agak cadel.
"Ibuuuu... Mila kesurupan lagiii!" teriak Miko, antara panik dan ketakutan.
Ibu Wibi telah sampai di lantai atas, dan langsung menjerit histeris. Cemas dan takut bercampur baur menjadi satu. Tapi kemudian Miko lebih cepat menguasai diri dan bertindak. Tamparannya yang cukup keras mendarat di pipi Karmila. Namun di luar dugaan Karmila tidak menjerit kesakitan, melainkan justru membuat gerakan balasan. Begitu cepat, tahu-tahu Miko merasakan pedih di pipinya. Karmila telah melukai pipi kakaknya itu dengan cakaran.
"Pergi! Pergi!" Mata Mila membuas. Tapi setelah itu, ia kembali membuat gerakan. Menari dan menyanyi lagi.
"Cicak-cicak di dinding... diam-diam merayap... datang seekor sapi... hap!"
Tubuh Karmila terjatuh. Untunglah ia masih di atas kasur sehingga kepalanya aman dari benturan benda keras.
"Mila!" Ibu Wibi memburu dan mendapatkan putrinya yang kini tengah terlentang tak berdaya. Keringat bersimbah di wajah Karmila. Tapi setelah diamati, ternyata Karmila telah tertidur, bahkan memperdengarkan dengkuran halus.
Miko dan ibunya saling berpandangan dengan heran. Keterkejutan jelas belum memudar dari wajah mereka.
"Rumah ini ada penghuninya," desis Miko.
Ibu Wibi berkomat-kamit. Nampaknya berdoa.
"Suara siapa? Arwah siapa?" Miko kembali bergumam sendiri.
Sore harinya Pak Wibisono dan istrinya membawa Karmila ke dokter, meskipun badan Karmila sudah tak panas lagi. Karmila sendiri sebenarnya enggan dibawa untuk berobat, karena merasa telah sehat. Anehnya, seperti semalam, ia juga tak ingat telah berbuat ganjil, bahkan telah melukai wajah kakaknya sendiri.
Ketika rumah telah sepi, Miko juga keluar rumah. Sejak siang tadi, ia telah menetapkan niat untuk menemui Pak Wisnu yang datang tadi pagi. Begitu banyak informasi yang ingin ia ketahui, terutama mengenai tempat tinggal barunya. Di lingkungan barunya ini, Miko merasa hanya baru mengenal Pak Wisnu. Sampai detik ini, Miko hanya punya anggapan bahwa keanehan yang diperlihatkan Karmila pasti ada kaitannya dengan rumah baru mereka.
Tak sulit untuk menemukan rumah Pak Wisnu di lingkungan yang tidak terlalu padat itu. Dan Miko agak lega karena ia disambut dengan baik dan ramah oleh Pak Wisnu.
"Ada apa Ananda datang kemari? Nampaknya ada sesuatu yang amat penting sekali...," sambut Pak Wisnu seketika, begitu melihat Miko datang dengan wajah keruh.
"Adik saya kesurupan lagi...."
"Kesurupan? Maksudnya, seperti semalam lagi? Masya Allah... saya tadinya hendak berkata begitu, tapi takut menyinggung perasaan ayahmu."
"Ja-jadi, Bapak pun tahu bahwa Karmila, adik saya, kesurupan setan?" Miko semakin antusias.
"Ada arwah yang merasuki adikmu...."
"Persis! Saya pun beranggapan begitu. Tapi, Bapak saya selalu menilai saya kelewatan, mengada-ada."
Pak Wisnu mengangguk-angguk, tanda memahami.
"Apakah ada kaitannya dengan rumah kami?"
"Saya tidak berani memastikan begitu. Tapi...."
"Apakah sebelumnya pernah terjadi keanehan di rumah itu? Sejak semula saya kurang setuju kalau Bapak saya membeli rumah hantu itu."
"Rumah hantu?"
"Mirip, kan? Suasananya begitu..." Miko berhenti sebentar. "Tunggu! Sekarang saya ingat lagi...."
"Selama ini tidak pernah terjadi keanehan di rumah itu, kecuali...."
"Tunggu dulu, Pak. Sekarang saya yakin bahwa suara nyanyian dari mulut adik saya sama sekali bukan suaranya. Melainkan...."
"Suara anak-anak?" potong Pak Wisnu.
"Ya, betul!"
Sebentar, Pak Wisnu seolah membantu dengan mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. "Di telinga saya, suara itu adalah suara Niar."
"Bapak yakin?"
"Dulu saya sering datang ke rumah itu untuk memotong rumput. Beberapa kali dalam sebulan Pak Sindhu mengupah saya untuk membersihkan halaman rumahnya. Memotong rumput, memangkas pohon. Jadi, saya sudah hapal dengan suara dan nyanyian Niar. Kasihan anak itu...."
"Tapi, kata Bapak saya, Pak Sindhu tidak memiliki anak."
"Bohong. Mungkin ia hanya malu karena...." Pak Wisnu ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Karena apa, Pak?" Miko mendesak.
Pak Wisnu menarik napas panjang terlebih dahulu. "Putri satu-satunya itu berubah ingatan!"
"Mak-maksud Bapak, gila?!"
Pak Wisnu menghela napas panjang lagi. "Panjang ceritanya. Tapi semua warga di daerah ini tahu persis peristiwa menyedihkan yang dialami keluarga Pak Sindhu."
Miko takzim menyimak.
"Pak Sindhu mewarisi rumah tua itu dari kakeknya. Ia tinggal bersama istrinya yang cantik hingga kemudian dikaruniai seorang putri yang cantik. Niar namanya. Ia buah hati kedua orangtuanya. Sayang kebahagiaan mereka terenggut. Suatu hari mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan fatal. Istri Pak Sindhu meninggal dalam kecelakaan itu."
"Juga Niar?" Miko semakin antusias.
"Tidak. Niar selamat meski harus menjalani banyak waktu untuk perawatan. Dan ia... ia mengalami gangguan otak. Ia mengalami gegar otak berat karena benturan keras dalam kecelakaan tersebut. Berbagai cara telah ditempuh, namun hasilnya... entahlah, hanyan Pak Sindhu yang tahu. Setahu kami, Niar tumbuh semakin dewasa, tapi tingkah dan kemampuannya abnormal — tetap seperti anak kecil. Ia didiagnosis mengalami gangguan mental karena gegar otak akut. Bertahun-tahun Pak Sindhu hidup berdua dengan Niar yang tidak waras. Kala kecelakaan maut itu, Niar baru jalan lima tahun, hingga sekarang... mungkin usianya limabelas tahun."
"Sama dengan usia Karmila," desis Miko.
"Tapi anehnya," lanjut Pak Wisnu," Niar tiba-tiba tak pernah kelihatan lagi. Orang-orang tak pernah lagi mendengar lagu-lagunya yang lucu dan racau."
"Sejak kapan?"
"Hampir setahun yang lalu, tepatnya sebelum Pak Sindhu menikah lagi. Waktu itu...."
"Tunggu dulu, Pak! Jadi, Pak Sindhu sudah punya istri lagi?"
Pak Wisnu mengangguk. "Waktu itu, sejak wanita yang kemudian dipersunting Pak Sindhu hadir, Niar telah tidak kelihatan lagi. Katanya, entah siapa yang bilang, Niar dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kasihan, kan?"
"Seharusnya memang begitu."
"Kenapa tidak dulu-dulu?"
"Pasti Pak Sindhu sudah banyak berupaya."
"Ya, mungkin begitu. Ah, orang itu memang amat tertutup sejak istrinya meninggal. Ketika menikah, orang-orang di sini pun tak ada yang diundangnya ke pesta pernikahannya."
"Mereka menikah di sini?"
"Tidak. Kabarnya mereka menikah di kota istri barunya. Dan sejak saat itu, rumah yang kalian tempati itu dikosongkan. Hanya sesekali saja Pak Sindhu datang menengok."
"Pantas rumah itu kurang terawat," gumam Miko.
"Hampir setahun ditinggalkan."
"Apakah ada sesuatu yang tak wajar di rumah itu sehingga Pak Sindhu meninggalkan rumahnya, bahkan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat murah. Rumah tersebut sebenarnya sangat artistik, bukan?"
Pak Wisnu memainkan jari-jarinya. "Seingat saya tak ada yang aneh di rumah itu. Tak pernah."
"Mungkin ada hantunya...."
Pak Wisnu menggeleng.
"Jangan karena ada saya, Pak...."
"Oh, tidak! Rumah itu biasa-biasa saja. Sekali pun tak pernah ada kejadian aneh, apalagi menyeramkan. Kesannya saja yang angker, karena tidak terawat dan catnya yang kusam termakan cuaca."
"Lalu, kejadian apa yang telah menimpa adik saya? Kenapa bisa seperti itu? Kerasukan, seperti orang gila dan...."
"Saya bukan orang pintar, bukan dukun atau paranormal. Untuk urusan kerasukan setan, mungkin bisa diatasi oleh mereka, yang ahli ilmu gaib."
"Mudah-mudahan dokter bisa mengatasi. Mungkin Karmila memang sakit dah harus diobati...," gumam Miko.
"Saya harap begitu," ucap Pak Wisnu. Ucapan bernada bimbang.
Ibu Wibi kembali terguncang. Tengah malam, ketika semua baru saja terlelah, Karmila kembali bertingkah aneh. Kembali menari dan bernyanyi seperti orang gila. Pak Wibisono dan Miko berusaha memegangi tubuh Karmila, malahan terlempar ketika gadis itu meronta-ronta. Di tengah-tengah kepanikannya, tiba-tiba Miko ingat kisah yang dituturkan Pak Wisnu.
Miko telah berdiri persis di depan Mila yang masih berputar-putar dan menyanyikan lagu anak-anak dengan suara yang aneh.
"Niar!" suara Miko keras menghardik.
Pak Wibisono kaget, sekaligus khawatir melihat tindakan Miko yang menurutnya sangat aneh. Tapi di luar dugaan, hardikan itu seketika menghentikan gerakan dan suara Karmila.
"Kamu Niar bukan? Kamu arwah Niar?!"
"Miko! Jangan macam-macam! Adikmu lagi sakit. Ia mengigau karena demamnya datang lagi!" Pak Wibisono mendorong tubuh Miko.
"Niar!" Miko tak mempedulikan ayahnya lagi. Ia sekali lagi menghardik. "Jika kamu berniat baik dan tak ingin mengganggu, pasti kamu mau menjawab. Kamu Niar, bukan?"
Tiba-tiba Karmila menjatuhkan diri ke lantai, lalu menangis. Ia menangis sembari menggelosoh di lantai, seperti kelakuan seorang anak kecil. Miko mendengar tangis seorang bocah!
Pak Wibisono dan istrinya tak bisa berbuat banyak, kecuali memandang anak laki-lakinya itu, yang kini berjongkok sambil membelai kepala Karmila.
"Niar... Niar...," katanya lembut. "Kami semua orang baik-baik dan tidak ingin mengganggu kamu. Tolong katakan... apa yang kamu mau? Tolong, kasihanilah adikku. Niar... Niar...."
Pak Wibisono dan istrinya menjadi takjub luar biasa manakala tiba-tiba Karmila menghentikan tangisnya.
Karmila berdiri setelah meraih lengan Miko, serta menarik kakaknya hingga berdiri juga. Sebelum Miko paham, ia terpaksa menurut ketika Karmila menariknya menuruni tangga. Karmila berhenti di anak tangga terakhir. Miko masih terus dipegang pergelangan tangannya oleh Karmila, seakan-akan orang buta yang ditunjukkan jalannya. Di samping tangga menuju lantai atas itu, mendadak Karmila kembali menangis. Berkali-kali ia menunjuk ke arah dinding di bawah tangga itu.
"Bongkar! Bongkar! Bongkar!" teriak Karmila berkali-kali bagai histeris. Ia terus menunjuk dinding di bawah tangga itu.
Miko kebingungan lagi. Ia memandang kedua orangtuanya yang juga sama-sama bingung.
Tangis Karmila semakin keras. Ia kembali meronta-ronta dan menggelosoh di lantai, mirip kelakuan bocah kecil yang dikecewakan.
Setelah itu Karmila terkulai, tertidur di lantai yang dingin dengan keringat bersimbah di sekujur tubuhnya. Ketika Miko dengan susah-payah membopong Karmila ke kamar ibunya, Pak Wibisono menguntit dari belakang dengan sikap tak berdaya.
"Niar? Siapa Niar?"
"Anak Pak Sindhu. Bapak lupa cerita Pak Wisnu tadi pagi?"
Setelah Karmila ditidurkan, Pak Wibisono dan istrinya duduk rapi di depan anak laki-lakinya. Miko menceritakan pertemuan dengan Pak Wisnu. Ia menceritakan kembali apa yang telah didengarnya dari Pak Wisnu.
"Aneh juga. Sekian pertemuan dengan Pak Sindhu, ia tak pernah bercerita perihal keluarganya, apalagi tentang anaknya yang mengalami gangguan mental. Bapak bahkan sama sekali tidak tahu bahwa Pak Sindhu telah beristri lagi."
"Mungkin masih ada rahasia-rahasia yang sengaja disembunyikan olehnya. Rahasia-rahasia rumah ini," kata Ibu Wibi. Ia tak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya. "Lalu, apa hubungannya dengan Niar? Apa betul orang yang belum mati bisa merasuki Mila? Aneh!"
"Bongkar...?!"
Miko tengah berpikir keras.
Hari ini Pak Wibisono berjanji hendak menemui seorang paranormal kenalannya sepulang dari kantor, untuk membicarakan keanehan yang terjadi pada Karmila. Ibu Wibi dan Miko amat mendukung keputusan Pak Wibisono itu, namun Miko juga punya rencana lain.
Pulang sekolah, Miko tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berbelok ke rumah Pak Wisnu. Untunglah Pak Wisnu juga sedang ada di rumah.
Ketika telah berhadapan dengan orang tua itu, Miko langsung menceritakan kejadian semalam.
"Dinding di bawah tangga?" Pak Wisnu memotong cerita Miko.
"Niar... maksud saya Karmila, menunjuk-nunjuk dinding di bawah tangga itu. Bongkar! Bongkar! Begitu katanya, Pak."
Pak Wisnu nampak berpikir. Ia tengah menggali ingatannya.
"Saya sering masuk ke rumah itu dan tahu persis situasi dari ruang-ruang di dalam. Tapi seingat saya, di bawah tangga ke atas itu sengaja dibiarkan terbuka. Tentu saja terbuka, karena jadi ruang kecil yang dimanfaatkan sebagai gudang. Betul! Saya selalu mengambil sabit dan gunting rumput dari bawah tangga," ungkapnya.
"Nanti dulu! Bapak pasti salah ingat. Tak ada ruang di bawah tangga. Yang ada cuma dinding!"
"Bongkar...?" Pak Wisnu bergumam. Lalu tiba-tiba: "Ayo kita ke rumahmu!"
Miko terbawa oleh semangat Pak Wisnu. Hanya dalam dua kali pertemuan, ia telah merasa akrab dengan Pak Wisnu. Tidak lama berselang sesampainya di rumah, Ibu Wibi tidak bisa berbuat banyak kecuali membiarkan Pak Wisnu masuk ke rumah. Ia percaya sepenuhnya pada Miko. Dan semua demi kebaikan Karmila!
"Dinding ini!" Miko menunjuk dinding di sisi tangga, atau lebih tepat disebut di bawah tangga. Semestinya ada ruang berbentuk segitiga di bawah tangga itu, namun yang ada adalah dinding. Dinding yang menutup ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga.
"Dulu dinding ini tidak ada!" kata Pak Wisnu spontan. Spontan pula ia memukul-mukul permukaan dinding itu. "Nah, benar bukan? Dengarkan suaranya! Di balik dinding ini ada ruang kosong. Di sinilah dulu saya mengambil dan menaruh kembali peralatan kebun."
Miko ikut memukul-mukul dan akhirnya membenarkan ucapan Pak Wisnu.
"Ini dinding baru. Lihat perbedaan warnat catnya. Beda, kan? Dinding ini lebih baru dan... sayangnya agak asal-asalan membuatnya. Siapa tukang borong yang membuatnya?" Pak Wisnu berkata pada dirinya sendiri.
Selagi keduanya, ditambah kemudian dengan Ibu Wibi, masih memeriksa dinding itu, terdengar suara langkah tergesa menuruni anak tangga.
"Bongkar!"
Mereka bertiga menoleh dan tercekat.
"Mila?!" Ibu Wibi dan Miko menjerit serentak.
"Niar?" Pak Wisnu berkomat-kamit.
Mulut Karmila yang mengeluarkan keluhan amarah, berangsur-angsur berubah menjadi tangisan pilu. Tangis seorang bocah!
Mulut Pak Wisnu masih komat-kamit. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya, meniupkan tiga kali, lalu melangkah mendekati Karmila. Tangan Pak Wisnu terulur maju dan tahu-tahu telapak tangannya mengusap wajah Karmila.
Miko dan Ibu Wibi kian terpukau ketika melihat Karmila seperti terhentak. Seketika pula ekspresi wajah dan cahaya matanya berubah.
"Ibu...?" Karmila menatap ibunya dan kakaknya bergantian. Matanya seperti seorang yang baru bangun dari tidur. "Pada mau ngapain?"
"Anu... Non, Ibu menyuruh saya membongkar dinding ini." Pak Wisnu justru yang menjawab sambil menunjuk dinding di bawah tangga.
"Lho, kenapa?" Karmila terheran-heran.
"Karena bisa untuk gudang, Mila," kata Miko.
Ibu mengangguk. Artinya, di antara mereka bertiga, tanpa harus bicara, telah ada kesepakatan bahwa dinding itu harus dibongkar.
Ibu Wibi mengajak Karmila kembali ke kamar.
"Ternyata Pak Wisnu punya ilmu."
"Ilmu apa? Cuma kemampuan kecil. Ananda pun bisa belajar. Cuma doa."
Miko tersenyum puas. "Kemarin-kemarin kami selalu kerepotan mengatasi Karmila, tapi ternyata Pak Wisnu cuma dengan sekali sentuhan, Karmila seketika sadar. Hebat!"
Miko teringat ayahna. Pasti akan ada perdebatan terlebih dahulu. Tapi mengingat kemampuan Pak Wisnu dalam menyadarkan Karmila tadi, timbullah kepercayaan Miko padanya. Nampaknya Pak Wisnu langsung melihat, atau setidaknya memiliki firasat tertentu. Dan Miko percaya, di balik sikapnya yang selalu merendah, sesungguhnya Pak Wisnu punya kemampuan ekstra melebihi orang kebanyakan.
Mungkin semacam kekuatan supranatural.
"Bagaimana? Ananda setuju saya bongkar dinding ini?"
Bagaimana jika Bapak marah? Tapi Ibu pun sudah setuju! batin Miko.
"Saya carikan alatnya, Pak. Sekarang juga!" kata Miko akhirnya dengan suara mantap. Ya, semua ini demi kebaikan Karmila!
Sesaat kemudian Pak Wisnu dan Miko cukup menimbulkan kegaduhan. Dengan hanya menggunakan sebuah palu yang cukup besar, mereka bergantian membobol tembok di bawah tangga itu. Miko merasa, Pak Wisnu amat bersemangat. Ia bekerja tanpa banyak bicara. Tapi ketika ia telah berhasil membuat lubang sebesar kepala kerbau, sejenak Pak Wisnu berhenti. Miko pun secara refleks mendekap hidungnya.
Ada bau tak sedap keluar dari lubang yang telah berhasil dibuat itu.
"Mundur!" perintah Pak Wisnu pada Miko.
Lalu, ia mengatur sikap membuat ancang-ancang dan mengayunkan martil sekuat tenaga.
Sebuah lubang yang cukup besar telah tercipta, dan itu cukup membuat keduanya dengan mudah melihat sesuatu yang berada di balik dinding itu.
Miko melipat korannya dengan wajah puas. Ada perasaan bangga karena di dalam berita itu namanya disebut-sebut sebagai orang yang punya peranan penting atas terbongkarnya kasus pembunuhan yang cukup unik itu.
Akhirnya, tanpa kesulitan yang berarti, pihak yang berwajib berhasil menemukan dan memenjarakan Pak Sindhu. Akhirnya terungkap juga semua alasan yang membuat Pak Sindhu tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Alasan yang kedengarannya tak masuk akal. Pak Sindhu malu jika calon istri barunya mengetahui bahwa ia punya seorang anak, apalagi seorang anak perempuan yang gila.
Jangan-jangan Sindhu itu juga bukan orang waras, batin Miko.
"Kopinya, Miko."
Miko menoleh. Ibu Wibi mengangsurkan segelas kopi kepadanya.
"Enak saja! Ini buat Pak Wisnu. Suruh ia istirahat sebentar. Kasihan, dari pagi belum berhenti. Dia memang rajin...."
Miko segera membawa segelas kopi itu ke dalam. Di bawah tangga dilihatnya Pak Wisnu masih sibuk dengan adonan semennya.
"Ngopi dulu, Pak."
Pak Wisnu tersenyum. "Sedikit lagi beres, kan? Besok tinggal mengecat dan... kembali seperti semula. Seperti setahun yang lalu."
"Bagus. Bagaimanapun, seharusnya itu memang dibiarkan terbuka, dan dimanfaatkan untuk gudang."
Miko memandang ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga itu. Ia teringat kembali seperti apa perasaannya waktu itu. Ia masih bisa membayangkan bagaimana dan seperti apa mayat yang belum seluruhnya hancur itu. Bahkan pakaiannya masih utuh dan tali yang melingkar di leher itu pun masih utuh. Kurun waktu setahun dalam ruang tertutup amat rapat membuat mayat itu tidak cepat rusak.
Mayat Niar.
Miko masih sering berpikir, apakah arwah penasaran Niar juga akan merasuki orang, jika orang itu bukan Karmila? Bagaimana jika yang datang sebagai penghuni bukan anak perempuan yang kebetulan sama persis tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya dengan Niar?
Barangkali kasus terbunuhnya Niar tak pernah terungkap. Karmila sendiri sudah tidak terlalu merisaukan keanehan-keanehan yang pernah menimpa dirinya.
Ia menganggap dirinya hanyalah media yang dipakai arwah Niar untuk membuka dan menyingkap kejahatan dan kekejian ayahnya sendiri.
Luar biasa.
Buktinya, sejak jasad Niar dikebumikan dengan layak, dan kejahatan Pak Sindhu terungkap, Karmila tak pernah lagi mengalami hal-hal aneh maupun kesurupan.
"Tidak usah terlalu bagus, Pak Wisnu...."
Miko dan Pak Wisnu menoleh. Yang datang adalah Pak Wibisono.
"Bapak ini!" kata Miko. "Tentunya Bapak setuju jika kita mempertahankan keaslian rumah antik ini, kan? Kita tidak tahu, tapi Pak Wisnu lebih tahu seperti apa bentuk kolong tangga ini dulunya...."
"Iya, tapi apa artinya jika sebentar lagi Bapak akan menjualnya?"
"Menjual rumah ini?" Miko terpukau.
Pak Wibisono tertawa gembira. "Kenapa tidak? Karena foto rumah kita beberapa kali muncul di koran, ternyata berakibat bagus. Ada sekian penggemar bangunan kuno yang tertarik untuk membeli dengan harga istimewa."
"Apa tidak sayang, Pak?"
"Kalau mereka berani membayar tiga kali lipat dari nilai beli kita?"
"Terserah Bapak. Mungkin dengan begitu kita bisa membuat rumah yang betul-betul baru. Tanpa masalah, tanpa misteri...."
Pak Wibisono tersenyum. ©
TAMAT
q seneng membaca cerpen ini krya bapak A. Donatus Nugroho......
BalasHapusseru abizzz...........