"If you want something you’ve never had, you must be willing to do something you’ve never done".
Sabtu, 27 Februari 2010
" Masih Di Hati "
Jika dulu kita tak pernah bertemu
Mungkin takkan pernah aku rasakan
Sakitnya hatiku yang harus berpisah
Berpisah darimu dari cintamu
Tersiksa batin jauh darimu
Karena aku masih menginginkanmu
Takkan pernah aku melupakan dirimu
Karna kau slalu ku rindu
Kenangan denganmu merobekkan hatiku
Karna kau masih di hati
Tersiksa batin jauh darimu
Karena aku masih menginginkanmu
Kau masih di hatiku 3x
Jika dulu kita tak pernah bertemu.........
Sabtu, 13 Februari 2010
Kerap kali aku berfikir,
untuk menliskan suarasuara
jiwa yang berkecamuk dalam
ruh; namun ku tahu, apa yang kan
kutulis.
Burungburung pun diam, tak
beri tanda apaapa.hingga aku
beranggap mungkin inikah
kiamat bagi jiwaku.
Aku terkurung,dalam sebuah penjara
perasaan. aku berteman seekor tikus
dalam bui kebisuan jadi nyata,dan takan
Ku hindari.
”Menanti kabar”
Hampir tiap saat aku tahu apa yang
kau lakukan. aku tahu waktu senyummu,
aku tahu waktu marahmu,aku tahu waktu
makanmu,aku tahu waktu tawamu,dan aku tahu
waktu datang teman baikmu.
Teman semua kaum hawa! wanitawanita
khayangan dan bumi.tapi kini
aku engan untuk tersenyum.
Sejauh enam belas tahun
mataku mengukur waktu berputar
melintasi malam dan siang
disini aku masih menanti suarasuara
angin menyejukan. menggoyakkan
jiwajiwa yang lara.
”Negeri eden”
Nyanyian burungburung lapar,atas pohon
tanah subur. sungaisungai kering,hujan
tetap turun! pintupintu langit terbuka,
makanan berjatuhan,pakaiyan berserakahan.
Manusia lapar tak berbusana menghiasi negri eden,
emas perak diperdagangkan milik peluh hamba.
kaya jadi tuan,miskin jadi hamba diatas tanah
milik hamba.
Hukum jadi basi.tangantangan besi
menyuarakan taktik menghentikan
gundahan yang mengusik.
“Bulan sempurna”
Malam ini dua puluh mei,
malam yang beda diantara bulanbulan.
bulan penuh mesteri,bulan penuh cerita
tentang kisah tak terungkap.aku berlari mengejar
anganangan,burungburung mengepakan Sayap
mengisyaratkan bahasa jiwa.
Awanawan putih sudah pudar,matahari
pun pucat.kejenuhan jadi pilihan yang tak terhindar.
kini harapan ku memuncak ingin meraih cinta sang
dewi.cinta bulan Sempurna,hanya jiwa sajalah bisa
mengkomandankannya.namun kebisuan adalah teman
baikku.
Aku berlari bersembunyi diantara kebohongan,
kejujuran adalah musuhku.sbab aku adalah hasil dari
sebuah kebohongan,yang direka dalam wujud cinta.hakekat cinta
adalah candu.
”Bingkai kosong”
Mataku selalu menatap kedinding.
memutar melihat bingkaibingkai kenangan,
menginginkan bisikan ada dibalik bingkai.
andaikan dinding bisa bicara dan mendengar
mungkin hanya dia yang tahu,
tentang apa yang terjadi diantara aku dan dia.
Bingkaibingkai kosong bertemakan cinta.
terpampang menghiasi dinding yang bugil.
mestinya aku tahu! bahwa yang terjadi hanyalah ilusi
yang mematikan jiwa dan ruh.
Kesuraman telah datang merasuki aku dan melampaui
batas hidup.menutupi ruang
mujur yang ku nanti,kini aku hanya bisa berpasrah
pada tangan dewa.disana aku bersembunyi dibalik
jubah milik dewa.
ketakutan ada,maka kehidupanpun ada.
ketakutan adalah hasil sebuah perasaan
makluk hidup.
"Busung lapar”
Ayah bundaku kaya,orang terpandang dinegeri ini.
punya tilang minyak,tambang nikel,
tambang emas,juga hutan menghijau.memiliki sona laut
luas,penumbuh karang dan mutiara adalah milik kepunyaannya.
Namun aku hidup tanpa sehelai benang,
menutupi auratku.kelaparan adalah pilihan utama yang tak terhindar
dari hidupku.aku kurus, rusukrusuk remuk rambutrambut
mmnutih.kulitkulitku keriput,sbab;aku lapar.
aku takan makan, dari hasil rampasan yang bukan milik peluhku.
yang ada hanya keserakahan dan tangantangan panjang,
menggambil barang bukan miliknya.
aku malu ayah,aku malu bunda.aku mendengar aku melihat semua orang
bicara tentang kejelekan ayah dan bunda.
”Rahasia hati”
di selasela waktu, terkikis oleh;masa.
disanalah dia menyimpan rahasia,
menggemgamkan kepinggan rindu yang
tak tersalurkan.rindu memetik bintang,rindu
mengapai bulan,rindu berhasrat cinta.
perjuangan melawan maksud hati yang mematikan.
dia tak pandai dalam berkatakata.ia bukan pujangga,
yang mengerti bahasa bibir dan paham bahasa jiwa.
hanyalah orang bodoh,membisu adalah tepat bagi dia.
dia menutup rahasia hati,rahasia antara bintangbintang
dan bulanbulan.daundaun melati menguning,burung pipitpun
diam tak beri tanda untuk hari esok.dia memutuskan mati
menguburkan impian bersama jiwa..!
”Binatang malam”
Malam ini malam purnama,waktu burungburung
malam mengepakan sayap. Memutarmutar melintasi
gelap, menerobos cakrawala.mencari nafkah
mengikat perut waktu siang bersama anak disangkar.
Burungburung malam terbang menyentuh bulan,
Membisikan perjuangan hidup. Perjuangan melawan keadaan.
Pohonpohon buah menggugurkan daun,
berhenti menafkai binatang malam, tanah dan air kering,hujan tak turun.
Mengantungkan diri, atas rantingranting pohon kemiri. Menunggu
Malam datang! Waktu semua binatang malam dan manusia malam.
Menyusun skenaryo menjelajah malam demi hidup..
”sabtu 12 juli”
hari yang cerah,hari yang bersahabat.
hari yang mengariahkan untuk tetap hidup.
hari yang penuh cinta,cinta yang masih didugaduga.
matahari penuh tanpa sisa,tanah dan ladang kering.
burungburung mati,tulang belulang berserakahan namun cinta
tetap hidup.
waktu itu sabtu 12 juli,aku bertemu dia.
dia adalah dia,dia rahasia hatiku.Aku terkagumkagum dibuatnya:
kecantikan,keanggunan hingga kesempurnaan adalah milik kepunyaan dia.
Mataku malu menatap kiri dan kanan.Tanahpun cemburu bila
aku bersama dia.
mata orangorang iri menatapnya dengan nafsu.
angin dan debu,kapas dan sekam terbang mewartakan
kejaiban dan kekuatan cinta yang mengalahkan takdir.
hitam putih warna kulit.pembukus daging,tulang dan,darah yang sama..!
”16 Oktober”
Batinku selalu menangis. Bila waktu, hari dan,
bulan semakin dekat. Saatsaat itu aku gelisah karna aku
takan berbusana lagi. Aku tak punya emas tuk aku
jual, aku tak punya uang tuk aku beli.
aku tak punya siapasiapa untuk mendengar nyanyian hatiku,
Semua orang menjauh karna aku.
Harihariku suram bagai dinding duri,
matahari tak mau bersinar di waktu Siang.
Bintang dan bulanpun bersembunyi dibalik jubah dewadewi.
aku terkekang oleh waktu yang menyiksa. Aku terhempas
oleh angin tofan, aku jatuh tak mampu berlari lagi.
aku mengadu pada batu, pada rerumputan,dan pepohonan,
diatas tanah yang jahat ini.
Enam belas oktober, bulan yang aku takut. Bulan yang
mengurangi batas usiaku. Dari delapan puluh tahun. Umur yang
di janjikan Tuhan untuk aku. Usiaku bertambah, hatiku
mengental bagai gunung batu karang yang kokoh. Trima
kasih Tuhan atas bertambahnya umurku. Berilah aku rajin selalu
sampaikan maksudMu.
”Gundahan Hati”
Rinduku selalu membebani hidupku,
Hasratku selalu membunuh nafasku.
Apa yang harusku lakukan?
Bagaimana caranya aku bisa terbebas olehnya?
Apa yang harus kuperbuat demi seorang gadis penyiksa
hati ini?
Tapi aku hanya bisa berharap pada tangan dewadewi
Karna disana aku bisa bersembunyi dan memohon tolongan.
Bila kau tahu bahwa seumur hidupku,kuhanya bisa memikirkanmu saja.
Tapi kini awan putih menjadi gelap,
Mataharipun pucat, seakan tak berniat ntuk bersinar.
Kegelisahan ini datang, bagai hari esok yang tak hentihenti berganti hari.
Aku jenuh, aku letih, namun aku selalu rindu peraduanmu duhaiku..
“Gitar Tua”
Inilah gitar tua yang kusut.
Telah kusimpan seabad lalu. Segudang: lirik,
dan nada juga kurangkai,diatas awan terdengar
nyanyian sang bulan purnama. Mengusir malam yang gelap.
Laut jadi tinta,daun jadi kertas,nabi jadi notulis.
Mencatat, menyimpan sejarah diatas tanah yang bertuliskan
sejarah,agendaagenda gitar tua.
Walau ombak mengatakan ia jenuh ntuk
memukul bibir pantai. Namun lirik dan nada
takan kubiarkan mati,terkikis oleh waktu yang panjang.
“Nasib bukan alasan”
Memang mereka pemulung, kerjanya mengais sampah.
Tangantangannya trampil dan lincah, memungut sisasisa makan
yang di titipkan untuk tikus.
Waktu malam tiba harus berbondongbondong
mencari kadera tempat melepas lelah. Menunggu datangnya matahari.
Walau beralaskan sepihan koran, hatinya
tegar bagai gunug batu. Hanya menanti belas kasihan sang pemberi
nasib, tentang hari esok yang berharga.
Perjuangan adala semangat.
Kegigihan adalah sinjata.
Kesabaran adalah kekuatan.
Ketergantungan adalah kelemahan.
Kematian adalah takdir semua makluk hidup.
“Nyanyian cinta”
kau mencitai ku sbab kau mendengar
nyanyian khalbuku. Kau merindukanku, sebab jiwamu
terlena dengan senandungku. Baitbait cintaku telah
meluluhkanmu dalam kebekuan hati.
Jiwamu cair bagai lapisan salju.
Tetunduk rata dibawah sumur buatanku. Akankah kau kokoh,
dan membeku lagi? Ataukah kau tetap mencintaiku,
bagai gununuggunug yang engan ntuk bergeser?
Kau tetap mencintaiku walau angin dari empat penjuru,
berseteru mengoyahkan kita? Akankah kau tetap berdiri?
Kini ku mulai nyanyikan lagu cintamu,
semangatmu. Kau pandai membaca bahasa ruhku,
kau pintar mematikan hatiku. Kini kaupun mau, bila
kau lepas helai demi helai benangbenang demi aku
yang telah kau luluh lantakan.
“Nasib Penyair”
taman ini sunyi,kosong dan mati.
Tetesan gerimisgrimis mengundang duka yang dalam.
Semutsemut berbaris mengantarkan jenazah keliang kubur.
Kupkupu bersekongkol menjauh dari taman yang ku buat.
Hati dan jiwa bercampur rasa,sedikit manis banyak pahit
yang diderita.
Bungabunga itu berganti musim,juga berganti warna.
Tetap saja sunyi!
Kepompong tak berubah wujud,mati dalam sarungnya.
Baru pertama kali terbuka tingkaptingkap ini.
Empat tahun ia terkubur,diatas nizan bertuliskan cinta.
Namun pintunya masih tertutup rapat.
Mungkinkah pintu itu tertutup ntuk seorang?
Dan terbuka ntuk lain? Belum bisa jawab.
Namun lakukanlah yang kau pikir'bagai kata:
cogitu ergo sum..
“Revolusi kepompong”
barisbaris ulatulat kayu,menghijau daun.
Merambat naik setingkat.
Kulit, perut adalah kakinya. merayap itu takdir.
Masa terkikis waktu, iapun terbang jua.
Hai dunia, hai manusia,lihat bangsaku.
Selamanya merayap bukan takdir
waktu membawa kebebasan tuk terbang. sampaikan
pada angin! bawa kabar kepompong telah menang
atas perang,revolusi berakhir kini.
wanitawanita cantik juga putriputri khayangan,
Suka warnawarni indah. keluar dari sayapsayap serangga imut.
Diantara kita masih ada rasa dengki. Ada juga yang tak sampai
seperti selayaknya kumbang terbang. Bersembunyi dibalik
kemunafikan yang tajam.
"Jiwa yang Sama"
Dalam alunan riakriak,
kutpiskan rindu bersama bayang mayamu.
untuk dia yang menyentuh batin yang sedang.
terlelap oleh sakit yang mendalam.
nyanyian suara hatimu, menyentuh ubunubun
yang tetutup oleh lahar.
biar sang pawang kaku berteman dengan sang jitah.
tapi hanya dia. jauh mampu, membuat hatiku tenteram.
suaranya menusuknusuk khalbu yang mati.
cintanya bergemagema, terdengar jelas dikupingku.
bulan juli, dan oktober adalah:
perbedaannya, tapi sejalan pikiran juga jiwa kita.
“Naluri bintang kejora"
"Perjuangan"
Anak perawan mati, diatas telapknya.
gugur bagai daundaun berganti musim.
kekejaman, ketidakadilan. lahir dari sebuah
rezim refolusi. namun suarasuara refosioner
lantang terdengar. bergelagah juga bergema.
angkat tangan kirimu. bangkitkan semangatmu.
ciptakan perlawanan hingga kaum, rumpunmu
bebas.
aku lahir dari idiologi. idiologi yang didoktrin.
untuk pembebasan banggsa.
semutsemut berbaris rapih mengantarkan
jenazah keliang perhentian.
hasil tangantangan besi, adalah kematian.
“Naluri bintang kejora”
Kala masih tertutup.
banyak jiwa, juga ruh.
hilang juga, lenyap.
sungguh sangat tabu, ntuk
menyebutmu bintang kejora.
pelanpelan kau bangkit.
merasuki ubunubun yang mati.
tulang belulang berserakahan di pangkuan ibu.
air mata, juga darah. mengalir membasahi tanah
juga ladang.
sebab kau bintang kejora.
kau janjikan kebebasan.
namun kau meminta kematian.
sudah cukupkah tulangtulang yang kau
pungut? ataukah banyak darah yang
kau haus? karna kau bintang kejora.
kau tlah menjelma, jadi jiwa. dibalik
bintang kejora..
"Tek sempat jadi hari"
binatangbinatang malampun, tak
sempat mengepak sayapsayapnya.
nalurinya tentang cintapun mati
bagai gerimis yang mengundang duka dalam.
diatas nizan itu namamu kudipahat.
bertintakan arang gelap menyelinap
segergap cahaya yang luluh.
leleh menyerupai lilin dijilat api.
banyak ciuman kering dikeningnya.
tak sempat memitik bibir yang basah.
pelanpelan mati dalam sarung, hidupun
tak bertepi seperti mata yang melotot
tapi rabun.
" Sunyi"
narwaskum digaunm.
haripu mati seakan tak menjawab pagi
yang pulas nan indah.
Aku masih merasakan jemarimu
dikeningku. ciumanpun kering,
mataku dengan panjang melotot
dilesung pipimu. namun aku masih sajasunyi,
nadi-nadi kinipun mati.
Matahari yang kusanjung kini pucat.
seakan diterkam awan gelap.
tenggelam dalam alunan,
riak-riak sampai haripun sia-sia
Tepi Laut.........
bagai dengus gurun pasir
cahaya melompat dalam lautan salju
di seret nya langkah di malam itu
dalam putih waktu
kutawarkan pada Mu
jenuh semesta ini ku penuhi isi
di hidup mu nasib dunia
bentangkan kedua tanggan mu
pohon-pohon kering di tepi laut padang pasir
menyanyi dalam gaib malam
kepada seluruh dunia
yan g menelan kan dipuncuk pantai
kuburlah hidup tanpa kesadaran
TIPS PACARAN YANG ISLAMI
1. Jangan berduaan dengan pacar di tempat sepi, kecuali ditemani mahram dari sang wanita (jadi bertiga)
-
“Janganlah seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya…”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102]
-
“Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepian (berduaan) dengan seorang perempuan melainkan setan yang ketiganya“ (HSR.Tirmidzi)
-
2. Jangan pergi dengan pacar lebih dari sehari semalam kecuali si wanita ditemani mahramnya
-
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sehari semalam tidak bersama mahromnya.” [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]
-
3. Jangan berjalan-jalan dengan pacar ke tempat yang jauh kecuali si wanita ditemani mahramnya
-
“…..jangan bepergian dengan wanita kecuali bersama mahromnya….”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341]
-
4. Jangan bersentuhan dengan pacar, jangan berpelukan, jangan meraba, jangan mencium, bahkan berjabat tangan juga tidak boleh, apalagi yang lebih dari sekedar jabat tangan
-
“Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu’jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283, lihat Ash Shohihah 1/447/226)
-
Bersabda Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wassallam: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]
-
5. Jangan memandang aurat pacar, masing-masing harus memakai pakaian yang menutupi auratnya
-
“Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya..” (Al Qur’an Surat An Nur ayat 30)
-
“…zina kedua matanya adalah memandang….” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)
-
6. Jangan membicarakan/melakukan hal-hal yang membuat terjerumus kedalam zina
-
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek” (Al Qur’an Surat Al Isra 32)
-
“Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
-
7. Jangan menunda-nunda menikah jika sudah saling merasa cocok
-
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
-
“Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)
-
WARNING:
-
sebenarnya banyak ulama dan ustadz yang mengharamkan pacaran, misalnya saja ustadz Muhammad Umar as Sewed. jadi sebaiknya segera menikahlah dan jangan berpacaran…
-
sebuah syair mengatakan:
-
kadang peristiwa besar bermula dari hal-hal kecil
permulaannya memandang, lalu tersenyum, kemudian menyapa, lalu mengobrol, lantas janjian, kemudian berkencan, dan akhirnya berzina
-
Bagi yang sudah terlanjur berbuat dosa maka bertaubatlah dan jangan putus asa, Allah pasti mengampuni hambanya yang bertaubat dan memohon ampun…
Hargailah
Sahabat renungkan hargailah setiap orang yang pernah mengisi hari hari ini.
Dengan menghargai mereka sesungguhnya kita menghargai pengalaman yang telah lampau untuk menapak masa depan yang lebih baik..
Cara Mengasihi Orang
tetapi waktu bisa menentukan besarnya nilai dan arti kasih sayang.
Dalam mengasihi seseorang banyak cara dilakukan oleh orang
tetapi cara cara yang ia lakukan terkadang membuat pasangan menjadi tidak nyaman.
Jaganlah mnorehkan luka kembali yang diakibatkan oleh pasangan di masa lalunya.
Ingat setiap orang mempunyai hak untuk bahagia dengan cara dan keunikan masing masing.
Renungan Masa Lalu
Renungkan pula cita cita, angan, dan impian masa lalu.
Tanyakan pada diri sendiri sudahkah impian dan angan menjadi kenyataan atau mendekati kenyataan.. Syukurilah nikmat yang telah anda raih dan telah diperjungkan sampai saat ini..
Sahabat ketika merenungkan semua nikmat sebetulnya sangat banyak dan luar biasanya nikmat dari Tuhan yang telah diturunkan kepada manusia dan alam ini..
Berprasangka Baiklah
Sesungguhnya jika kita berprasangka baik kepada Tuhan
Niscaya Tuhan akan berprasangka baik pula kepada kita.
Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan rahmat-Nya.
Lihatlah sekitar kita betapa tak terhingga rahmat yang tercurah di alam semesta.
Sahabat renungkan di dalam hati yang selalu menuntun pada kebenaran...
Tuhan yang telah menciptakan hati agar manusia selalu mendapat petunjuk jalan kebenaran.
Sahabat marilah berbuat kebaikan pada sesama, alam dan mahluk Tuhan yang lain..
Tak ada manusia lepas salah dan khilaf
Manusia yang terbaik adalah manusia yang apabila ia melakukan kesalahan ia akan segera menyadari kesalahan
Kemudian ia akan memandangnya sebagai suatu pelajaran untuk masa mendatang tidak melakukan keslahan yang sama
Sahabat mari direnungkan saat ini sudah berbuat lebih baik dibanding masa yang lalu.
Sahabat kenanglah masa lalu untuk untuk berbuat lebih baik untuk hari ini dan hari esok.
Masa lalu bukan untuk dilupakan begitu saja tetapi akan lebih bermakna dengan berbuat baik saat ini dengan berpijak pada pengalaman masa lalu
Syukurilah semuanya
Setiap waktu pula nikmat dari Tuhan selalu bertambah
Beragam nikmat telah banyak diterima tetapi terkadang tidak disadari
ataupun terlupakan oleh nikmat sesaat
Jikalau setiap diri menghitung nikmat maka tak akan terhitung berapa jumlah nikmat sampai saat ini
Sahabat marilah renungkan sejenak dan coba menengok ke belakang
Nikmat sampai saat ini yang diberikan luar biasa banyaknya
Misalkan kita hitung nikmat umur panjang mari direnungkan
setiap detik setiap menit kita menghirup udara untuk bernafas
Seandainya di setiap bernafas harus membayarnya niscaya berapa banyak uang untuk membeli udara bernafas
Tetapi Tuhan telah bermurah hati setiap udara nafas tidak membayar... Bersyukurlah
Coba tengok rekan yang ada di rumah sakit ketika ia menggunakan alat bantu nafas, tentu sangat banyak sekali uang untuk membelinya
Sahabat syukurilah nikmat sehat dan nikmat panjang umur.
Sabtu, 06 Februari 2010
Sebuah penantian..................
itu bak drama judi musikal
saat melodi dimainkan
dadu cinta dijatuhkan
angka penantian pun muncul
Hanya tinggal dibubuhi
abad, tahun, windu, hari
bahkan, detik
tergantung keputusan
Hati beku tersegel gembok berkarat
tak satu cinta mampu menembusnya
membuat obyek yang ditunggu
terbang tinggi melayang
Namun, apa jadinya
jika masa penantian
belum genap seumur dadu?
Terlalu banyak madu sundal
menggoyahkan hati subyek penunggu
nazar manis pun bagai angin lalu
musik cinta pun dipaksa berhenti
Membuat posisi terbang menjadi terjun bebas
terbentur sakit tak terkira
hati yang tadinya beku
pecah keras memekakkan telinga
bahkan, jagung menunggu setia
sampai musim panen tiba
bagi mereka itu yang namanya cinta
tapi, nyatanya roboh di meja judi
itu bukan cinta namanya...
Aku Tak Pernah Ada.........
Dia milikmu seutuhnya
aku tidak pernah terlintas
sedikit pun
di hatinya.
Jangan khawatir.
Aku mencintainya
: cinta yang kadang kala menyakitkan
cinta yang terlalu besar untuk disingkirkan
cinta yang sesungguhnya.
Kamu tidak akan pernah
mencintainya sepertiku
kamu tidak memahaminya,
kamu tidak bisa mendengar.
Kenapa?
Karena dia tidak cerita ke kamu,
tapi dia cerita ke aku segalanya!
segalanya
tentang kamu.
Kadang hati ini meronta
menangis, minta kebebasan
sering hati ini berteriak!
melantunkan nada sedih.
Aku sendiri suka tidak mengerti
mengapa aku masih mencintainya,
mengapa aku rela disakiti
mengapa aku tidak cemburu
melihatnya bersamamu.
Padahal setiap hari
yang diucapkannya cuma kamu,
kamu,
dan kamu.
Ketika dia menatapmu,
senyumnya begitu tulus dan bahagia
ketika aku menatapnya
indah bola matanya
seolah menari menyisir ruang.
Tentu saja!
Aku pernah menginginkannya
aku berharap,
sampai sekarang pun aku masih berharap
tapi aku sadar,
hatinya tidak pernah buatku
sedikit pun tidak pernah
Siang malam yang dipikirkannya
cuma kamu,
kamu,
dan kamu.
Baginya,
aku hanya sekedar sahabat
sepasang telinga yang tak pernah bosan,
pundak yang empuk buat menangis,
dan wadah mencurahkan isi hati.
Apa ruap isi hatinya?
Tentu saja kamu,
kamu,
dan kamu.
Sebesar apa pun hatinya,
aku tak akan muat di situ
aku juga tak memaksa,
asal dia bahagia
sama kamu,
atau orang lain.
Kalau sampai kamu patahkan hatinya,
kamu sakit jiwa
: gila!
tak punya hati
kalau sampai itu terjadi,
kamu lebih jahat dari pembunuh.
Kamu tidak perlu takut
akan keberadaanku
karena sekalipun aku ingin
mengambilnya darimu,
aku tidak akan pernah bisa.
Karena baginya,
aku tak pernah ada!
Cerpen.
Dia Datang Malam Ini
Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai. Mengajaknya pergi ke suatu tempat, sekadar menghilangkan kepenatan. Tidak hanya terpaku menanti kehadiran seseorang di ambang pintu yang kerap terbuka.
Almira menghela napas panjang. Ia tidak lagi berdiri di ambang. Ia putuskan duduk di sofa setelah lelah hanya berdiri. Pintu tetap ia biarkan terbuka lebar. Meski keyakinan pada diri mulai menipis.
Suaminya tidak akan pulang malam ini. Seperti malam-malam kemarin. Penantiannya akan berujung pada kesiaan. Padahal betapa ia berharap, ada sesosok membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gembok. Sesosok itu mendekat padanya. Merangkumnya erat dalam dekapan. Mendaratkan ciuman hangat pada bibirnya. Di antara desah napas yang makin memburu, sesosok itu mengajaknya memuncaki bulan seperti di awal-awal pernikahan mereka. Tapi tak pernah. Sampai ia tertidur di sofa, lalu pagi membangunkannya, sesosok itu tak pernah pulang lagi. Apalagi mengajak memuncaki bulan.
Almira menatap jam dinding. Tengah malam tepat. Dimana suaminya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Mabuk-mabukan di sebuah pub? Menggoyangkan tubuhnya serupa cacing kepanasan di sebuah diskotik? Atau seperti bisik-bisik tetangga, tengah memuncaki bulan dengan seorang perempuan yang ia kutip dari pinggir jalan?
Almira mendegut ludah. Omongan tetangga tidak saja membuat telinga panas, tapi sudah membakar hati. Mengelus dada, pilihan terakhir yang dia ambil, setelah berusaha bertanya pada suaminya. Karena selalu menanyakan kebenaran itu sama saja dengan menambah luka bathin. Ucapan suaminya, membuat ia tercampak pada cadas batu. Mengingatkan kalau ia tidak sempurna sebagai seorang perempuan.
Sepuluh tahun mengarungi lautan pernikahan, suaminya tidak hanya butuh tubuh hangatnya di malam-malam sunyi, atau menyiapkan makanan di meja dan mengurus segala keperluannya. Suaminya menginginkan anak darinya. Itu yang tidak bisa ia beri. Karena ia tak lebih seperti ilalang, tumbuh subur tanpa pernah berbunga apalagi berbuah.
Dari sofa, Almira menatap keluar. Hitam berjelaga. Samar berbayang bunga asoka melambai-lambai tertiup angin yang semakin kencang. Angin itu seolah mengabarkan, hujan hampir tiba.
Tidak lebih lima menit kemudian, hujan benar-benar sampai. Ia mampir di atap rumah Almira, di halaman depan, bahkan juga mampir pada tangan-tangan asoka yang terus melambai.
Angin terasa lebih kencang lagi basah. Dingin semakin mengental. Almira putus harapan. Suaminya tidak akan pulang lagi malam ini. Tidak mungkin dalam cuaca sekacau ini, suaminya berlari menerobos hujan dan dingin hanya untuk berlabuh pada tubuhnya yang juga dingin.
Akhirnya Almira menutup pintu depan. Sebelum membuka pintu kamar lirikan matanya membentur jam dinding. Pukul 02.25 WIB.
Malam ini, lagi-lagi Almira akan bercinta bersama sepi, di atas ranjangnya sendiri.
***
Siang berkerak. Almira sedang beberes di dapur ketika suaminya datang. Gegas Almira mencuci tangan, melepas celemek yang melekat di tubuh dan merapikan rambut yang pasti berantakan, dengan sisiran tangan kanan. Ia ingin tampil menawan di depan suaminya.
Tanpa menatap, apalagi mengajak bercakap, suaminya masuk ke dalam kamar. Almira mengekor dari belakang, melepas beberapa semacam pertanyaan.
"Abang dari mana?"
"Kerja."
"Sampai dua minggu?"
"Keluar kota ," sahut suaminya, dingin melebihi es. Ia lepas dasi yang mengikat leher. Busana yang ia kenakan sangat rapi, wajahnya sesegar buah yang baru dipetik. Tidak terlihat kusut dan lelah seperti baru pulang dari luar kota.
"Abang tidak pamit. Aku cemas menunggu."
"Apa harus?"
"Tentu saja."
Bibir suaminya merapat. Sama sekali tidak ada celah walau hanya sekadar untuk keluar masuk udara. Setelah melepas baju suaminya telentang di atas ranjang. Kedua matanya memejam.
Almira tidak akan menyerah lalu keluar dari kamar. Kali ini, ia harus tahu darimana saja suaminya selama dua minggu ini. Apa-apa saja yang ia lakukan, dan mengapa ponselnya selalu tidak aktif ketika Almira hubungi.
"Dari mana saja Abang dua minggu ini?"
"Kau ingin tahu?" pada dingin suara itu, Almira mendengar ada campuran rasa jengkel.
"Ya."
"Aku berkemah di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak."
"Untuk... apa?"
"Untuk apa katamu? Apa lagi yang bisa kulakukan di sana selain menatapi bocah-bocah mungil itu dan membayangkan betapa bahagianya aku, jika salah satu dari mereka berlari kepadaku seraya meneriakkan kata Papa," ucapan itu, seperti peluru yang muntah dari moncong. Melesat cepat lalu bersarang tepat di jantung Almira.
Tanpa kata, tanpa menatap, Almira mundur, keluar dari kamar. Setelah daun pintu tertutup, tubuhnya bersandar di sana . Kembali suaminya menanam luka di hati Almira. Jika boleh memilih, lebih baik suaminya meninggalkan lembam biru di sudut mata Almira ketimbang harus mendengar ucapan itu. Karena lembam biru itu akan tersaput oleh waktu. Sementara ucapan itu akan tetap bersarang di hati Almira.
***
Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai. |
Almira berdiri tepat di ambang. Menatap pada langit, yang lebih mirip karpet hitam terbentang lebar. Entah kemana bulan juga bintang pergi malam ini. Mereka hanya meninggalkan hitam pada langit.
Angin bertiup lebih kencang lagi. Suaranya mendesis-desis di telinga Almira. Ia menelan nafas pelan-pelan. Kemana lagi suaminya pergi malam ini? Terkadang, Almira malas menebak-nebak. Karena pada akhirnya, selalu ia tidak tahu apakah tebakannya benar atau tidak. Karena setiap kali ia bertanya pada suaminya, bukan jawaban yang ia terima. Justru suaminya akan mencampakkan Almira pada cadas batu. Padahal Almira sudah cukup senang, andai suaminya mau menjawab. Walau ia harus mendengar jawaban dusta.
Almira bersandar pada sisi pintu dengan mendekap tangan di dada. Sunyi terasa mencekik perasaan. Saat seperti ini, ia ingin suaminya ada di sampingnya. Tidak perlu merayunya dengan ucapan beraroma anggur memabukkan. Cukup jemari tangan mereka saling mengulum dan mata mereka menatap sepenuh kagum pada bocah yang belajar merangkak di lantai. Lalu Almira akan terpekik bahagia ketika dari mungil bibir si bocah itu terucap kata mama dengan nada patah dan kaku.
Impian sangat sederhana, tapi tak akan pernah bisa terwujud. Ia bukan perempuan sempurna. Sejak sembilan tahun lalu dokter sudah membuat segalanya mustahil ketika mereka mengangkat rahim Almira. Ditambah suaminya menolak tegas, ketika Almira berhasrat mengangkat seorang anak.
Malam semakin mati. Bangkainya berserakan di halaman rumah, meninggalkan aroma dingin. Dingin itu terasa berkeliaran. Menyentuh-nyentuh kulit Almira. Bahkan terkadang terasa sampai mencubiti tulangnya. Tetapi Almira tidak akan menghindarinya dengan cara menutup pintu rapat-rapat lalu bergelung di balik selimut dalam kamar.
Almira tersentak, di hitam langit, ada segaris cahaya berkilau, lalu meletuskan suara guntur. Tipis-tipis hujan menari. Mampir di depan rumah. Ia mendesah. Setiap menunggu suaminya di ambang pintu, mengapa selalu saja diakhiri oleh hujan?
Akan ia mengalah pada hujan, ketika samar ada bayangan yang mendekati pintu pagar. Bayangan itu membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gempok Almira dikepung bahagia. Itu pasti suaminya.
Ada senyum di bibir Almira. Bayangan itu sudah menjelma menjadi suaminya, berdiri tepat di hadapannya. Senyum Almira rontok melihat sesuatu di gendongan suaminya.
"Apa itu?"
"Bayi. Untukmu."
"Bayi siapa?"
"Penting bagimu ini bayi siapa?"
Almira mematung, menatap bayi itu. Sigap tangannya menangkap, ketika suaminya menyerahkan padanya.
Suaminya melangkah masuk. Almira mengekor dari belakang.
"Abang katakan dulu, ini bayi siapa?"
"Urus saja. Dulu, kau yang ribut ingin mengadopsi anak."
Almira membuka kain yang menutup wajah bayi itu. Mata bayi itu terbuka, lalu sudut bibirnya memanjang, membentuk sebuah senyuman. Almira tersentak. Wajah itu seperti jelmaan suaminya. ©
Tentang Kesetiaan
Cewekku namanya Caca. Sebenarnya dia baik. Apalagi wajahnya cantik dan dia adalah seorang yang periang. Suasana jadi selalu ramai. Dan malam ini, aku seneng banget bisa berduaan sama Caca setelah kesibukan di kampus. Malam ini indaaahh.... banget! Tapi sebuah sms telah mengacaukan semuanya. Dan Caca yang cantik dan baik itu, berubah bagai kucing yang sedang mengamuk.
Caca menyodorkan ponselku setelah dia membaca sms yang masuk tadi. Caca memang selalu 'menguasai' ponselku saat kami sedang bersama-sama. Wajahnya sereemm banget! Aku jadi penasaran. Ada yang nggak beres nih!
Ternyata dari Maya!
'Malam. Sebel deh nggak bisa ketemu elo. Dari kemarin adaaa aja alasan. Skrg lo dmana?'
"Ada ya, temen yang rajin laporan; jam segini ada di sini, lagi begini, mau begitu, nanti begini, besok bla-bla-.bla! Selalu ada selamat pagi, sore, malam... terus selalu mau tahu ada dimana, ngapain...." Caca melotot. "Sumpah! Sebenernya hubungan kalian sampe mana sih? Ada apa? Nggak mungkin cuma sobatan. Atau.... Temen Tapi Mesra?"
Aku memilih diam. Caca pantas marah. Dia pasti cemburu. Hei, cemburu kan tanda cinta. Berarti Caca cinta banget dong sama aku!
"Gue juga punya sobat cowok, Bim! Tapi nggak gitu-gitu banget! Gue bisa hapal, dalam satu minggu, sms dari cewek reseh itu bisa masuk ke hp lo lebih dari dua puluh kali! Hebat!"
Aku masih diam.
"Gue pikir, setelah petengkaran-pertengkaran kita, lo akan membatasi hubungan lo sama cewek itu. Terutama setelah pertengkaran terakhir kita minggu lalu. Eh... ternyata hasilnya masih sama ! Lo masih kayak begini?"
"Ca, coba simak lagi. Baca sekali lagi. Dia bilang kan sebel nggak bisa ketemu gue dan selalu ada alasan. Nah, berarti gue udah berusaha menjauhi dia, kan? Ayolah, jangan rusak malam ini, Ca!"
"Malam ini udah kelewat rusak! Gue mau pulang!"
Caca beranjak tanpa babibu lagi. Malam ini keindahannya sudah berakhir.
***
Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih. |
Caca berhak marah dan cemburu. Cewek mana pun pasti akan berlaku sama. Maya adalah salah satu kawan baikku sejak kecil. Bersama teman yang lain, kami selalu bersama-sama. Kemudian kami semua pisah sekolah, tapi kami tetap berkomunikasi dan janji bertemu. Terakhir hubungan itu masih tetap terjalin saat kami masing-masing duduk di bangku SMA. Sejak kami duduk di bangku kuliah hubungan itu terputus. Kami masing-masing sibuk. Saat aku mulai pacaran sama Caca, tiba-tiba Maya menghubungiku lagi dan komunikasi kami kembali lancar. Tapi Caca nggak bisa menerima. Di mata Caca, aku dan Maya terlalu dekat.
Maya benar-benar sahabatku. Tidak lebih. Kalau menurut Caca aku terlalu memperh atikan Maya, benar! Aku tahu banyak tentang Maya . Di balik sikapnya yang rame, ternyata suatu saat dia bisa begitu rapuh dan menja di orang yang sangat lemah. Maya memang lemah. Dia tidak seperti kelihatannya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa me meluknya. Berada di dekat Maya membuatku merasa dibutuhkan.
Maya tahu tentang Caca. Jelaslah, aku ceritakan semua hal tentang cewek cantikku itu pada Maya. Kepada Caca aku juga bercerita tentang sahabatku Maya. Dan mereka sudah pernah kupertemukan. Mulanya Caca bisa menerima kalau aku sobatan sama Maya. Tapi lama-lama kemudian Caca mulai menunjukkan tanduknya. Dia mulai nggak suka melihat aku teleponan sama Maya. Dia juga benci banget kalau melihat sms Maya muncul. Aku juga bingung. Aku nggak mungkin memutuskan persah abatanku dengan Maya begitu saja, terutama karena aku tahu banyak apa yang sedang menimpa Maya... Maya sedang membutuhkan seseorang. Kebetulan orang itu adalah aku.
***
Hari ini aku ingin sekali menelepon Caca. Aku ingin minta maaf dan ingin merayunya. Tapi Caca pasti masih sebel banget sama aku. Kalau masih marah begitu, dia akan menolak teleponku atau malah menutupnya. Paling sial kalau dia malah ngamuk dan mengeluarkan kata-kata mantra di telepon. Wah, mending tunda dulu deh menelepon dia. Biar dia tenang dulu. Kalau sudah tenang, aku yakin Caca pasti mau menerima teleponku dan memaafkan aku. Malah Caca pasti kangen sama aku. Hah!
Mending aku telepon Maya dulu. Aku akan jelaskan soal smsnya kemarin malam itu.
"Haaa... lo jahat!"
Itu kalimat pertama yang aku dengar begitu ponselku nyambung ke nomornya.
"Gue sibuk, May!"
"Haaa... sok sibuk lo! Sampe nggak sempet hubungin gue. Jahat!"
"Udah ah jangan marah-marah mulu! Kan sekarang gue hubungin elo. Gimana, lo sehat kan, baik-baik aja kan?"
"Lumayan. Kemarin agak capek dan kambuh lagi. Tapi baik-baik aja, kok. Sekarang gue lagi nyiapin sumpahan buat lo!"
Itulah Maya. Ceria, rame dan sembarangan. Gayanya itu bikin aku menyukai persahabatan ini. Tapi Caca....
"Kenapa lo? Kok diam aja? Haaa... takut ya sama sumpahan gue? Tenang, sumpahan yang gue siapin ini nggak jahat-jahat banget. Cuma... 'sumpah jerawat lo tambah banyak, sumpah lo nggak ganteng lagi, sumpah lo nggak kawin-kawin.... hahaha!"
"Gue lagi berantem sama Caca!"
"Wah, seru tuh! Kenapa lagi?"
"Gara-gara sms lo semalem."
Sepi.
"May?"
"Gue jadi bingung. Gue kan cuma sms doang. Sms gue kan biasa aja, Bim. Nggak ada tanda-tanda apa pun. Apa lagi sampe ke pornografi."
"Iya, gue juga udah berusaha jelasin ke Caca, tapi dia nggak ngerti. Maafin Caca juga ya, May!"
"Maksud lo, selama ini hubungan kita jadi mengganggu hubungan lo sama Caca? Bim, aku kan nggak ngapain-ngapainin elo! Kita kan udah sobatan sejak kecil, sejak Caca belum ada di antara kita!"
Wah, aku nggak ngira Maya bisa protes begini.
"Pantes belakangan ini lo sulit banget dihubungi. Sms gue nggak dibales. Telepon gue nggak dijawab. Gue pikir lo bener-bener sibuk di kampus. Taunya lo bermaksud jauhin gue!"
"Eh, tapi beneran gue sibuk di kampus, May! Suer!"
Sepi.
"Ya, udah. Gue seneng kabar lo baik-baik aja. Lo tetep sahabat gue yang paling baik yang paling bawel... bye! Jaga diri baik-baik ya, May!"
Tep.
Baru saja ponsel kumatikan, di depanku sudah berdiri Caca plus dengan muka cemberutnya yang bikin cantiknya bener-bener hilang.
"Pantes dihubungin dari tadi hp lo sibuuukk terus."
"Caca? Ngapain ke sini?" Sumpah aku kaget. Nggak nyangka pacarku datang duluan sebelum aku minta maaf dan merayunya.
"Gue ke sini mau ngambil tas gue yang semalam ketinggalan di mobil lo! Jangan GR!" Caca beranjak ke mobilku yang kebetulan tidak kukunci. Aku segera menarik tangannya.
"Ca, maafin soal semalam ya."
"Aduh, Bim! Cape deh kalo cuma denger maaf, maaf, maaf."
"Abis gue mau ngomong apa lagi?"
Tak disangka tiba-tiba Caca meraih ponsel di tanganku dengan gerakan cepat. Dia mengecek sesuatu. Lalu...
"Barusan aja lo abis nelepon dia, ini buktinya!" Caca menunjukkan register di ponselku. Aku nggak bisa mengelak. "Sementara semalam kita baru berantem soal ini, eh lo udah asyik-asyik teleponan sama dia."
"Gue lagi jelasin ke dia, supaya dia nggak hubungin gue lagi...."
"Basi!"
"Bener, Ca!"
Caca tak menggubris kata-kataku, dia beranjak. Aku mengejarnya.
"Kita putus, Bim!" Caca menepis tanganku.
Oalah! Putus dari Caca? Bisa gempa bumi aku! Aku nggak mau kehilangan cewek cantik ini. Aku harus menyelamatkan hubungan ini.
"Plis, Ca. Masa putus sih? Apa sih yang salah dengan persahabatan gue dan Maya?"
"Ya jelas salah! Lo kan udah punya cewek. jaga dong perasaan cewek lo!"
"Oke, kasih gue kesempatan. Apa yang harus gue lakukan?"
Caca berhenti. Menatapku dengan matanya yang dingin.
"Cewek mana pun akan berlaku sama, Bim. Jangan sakitin gue! Kita udah sering bertengkar soal Maya, Maya...! Gue capek. Lo harus pilih gue atau dia!"
"Kenapa harus milih? Gue nggak perlu milih, Ca, karena lo memang pacar gue, sedangkan Maya cuma temen."
"Kalo emang gue begitu berarti buat lo, jauhin Maya. Sejauh-jauhnya! Cewek itu juga harus pergi sejauh-jauhnya dari lo. Cuma itu."
Aku terpekur. Lama kemudian aku mengangguk.
***
Aku menepati janjiku pada Caca. Sms dan telepon Maya tak kugubris. Lama-lama Caca mulai percaya lagi padaku dan aku merasa damai. Lama-lama juga Maya merasa kalau aku menjauhinya. Mungkin Maya kecewa. Suatu hari dia mengirim sms:
'Kangen bngt ngobrol sama lo, becanda, tertawa. Tp gw tau, ada Caca di sisi lo. Dan lo lbh memilih menjaga hati Caca. Tapi, Bim, berada di sisi lo membuat gw lbh kuat....'
Aku trenyuh membaca kalimat itu. Maya mungkin sedang kesakitan. Dia butuh seseorang. Tapi aku terikat janji pada Caca. Aku berharap ada orang lain saat ini di dekatnya.
***
Hubunganku dengan Caca semakin mulus. Sampai kemudian sms Maya membat pertahananku mulai goyah.
'Lo adlh sahabt terbaik gw. Lo yg slama ini memberi semangat bwt gw. Gw udh cb brtahan, Bim. Tp gw bener-bener butuh lo. Plis, Bim.'
Berapa lama aku tak menghubungi Maya? Sebulan dua bulan.... Aku tak ingat lagi. Maya sudah terlalu kesakitan. Saat seperti itu Maya butuh genggaman tanganku. Aku harus menemuinya. Tapi tiba-tiba Caca muncul.
***
Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih. Saat aku mencoba setia pada kekasih, pikiran dan perasaanku terus berkecamuk rasa bersalah.
Aku benar-benar bersalah pada Maya. Aku yang selama ini mengaku mengenal tentang Maya, mengetahui apa yang sedang menimpa Maya, ternyata berlaku tega... mengabaikannya!
"Dia penderita leukemia sejak dua tahun yang lalu, Ca. Saat kondisinya sedang lemah dan kanker itu terus menyerangnya, dia butuh seseorang di sampingnya. Sekedar menggenggam tangannya, memberinya kekuatan. Cuma gue yang tahu tentang ini. Dia sendirian, nggak punya siapa-siapa kecuali tantenya yang gendut dan galak itu. Dan akhirnya cuma gue yang, dulu, selalu menemaninya melalui kesakitan-kesakitannya. Belakangan setelah gue terikat janji untuk menjauhi Maya, gue nggak tahu siapa yang ada di sampingnya menggenggam tangannya, melalui masa-masa kesakitannya. Kamu tahu, Ca, saat kesakitan itu datang, Maya sangat tersiksa. Mengerang dan berusaha menahannya. Gue aja sering nggak kuat ngelihat dia begitu... kasihan, Ca. Kasihan Maya. Andai lo tahu betapa gue merasa amat bersalah pada Maya., karena dulu gue pernah berjanji pada Maya untuk selalu menemaninya melalui masa-masa ke sakitannya. Gue melanggar janji itu, demi lo, Ca! Maafin gue, Maya. Gue bukan sahabat yang setia, karena gue sedang mencoba menjadi kekasih yang setia. Maafin gue... maafin gue!"
Kalimat itu kuucapkan di depan tanah merah dan basah. Sebulan Maya berjuang melawan kesakitannya, benar-benar sendirian. Tanpa seorang pun di sisinya, menggenggam tangannya. ©
Cerpen......
CHAPTER 1:
MEMBELI RUMAH KUNO
Pesta sederhana itu berlangsung cukup meriah. Berkali-kali Pak Wibisono saling berpandangan dengan istrinya, saling tersenyum dengan manis, menandakan kebahagiaan sekaligus kepuasaan. Para tamu undangan yang datang dari jauh adalah mereka yang mulai hari ini resmi menjadi mantan tetangga. Kedatangan mereka adalah bukti bahwa Pak Wibisono sekeluarga tetap disayangi dan dihormati, bahkan mungkin disayangkan kepergiannya. Tamu yang lain adalah orang-orang sekitar yang akan menjadi tetangga baru.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah.
Sentuhan istrinya itu membuat Pak Wibisono tersadar dari lamunannya. "Ya? Apa?"
"Sudah cukup larut...," bisik Ibu Wibi. Pak Wibisono mengerti maksud istrinya. Sudah waktunya memberikan pidato singkat berisi ucapan terima kasih dan selamat jalan. Pesta selamatan pindah ke rumah baru ini akan segera diakhiri. Pak Wibisono cepat bergeser dari posisinya sambil mengedarkan pandangan. Benar, para tamu telah selesai dengan hidangan penutup. Ia berjalan menuju ke sudut kosong, menepuk tangan beberapa kali untuk meminta perhatian para tamu.
Para tamu serentak memandang ke arah Pak Wibisono dan menghentikan kesibukannya masing-masing.
"Bapak dan ibu sekalian...." Pak Wibisono membuka suara. Tapi suaranya tertelan kembali manakala tiba-tiba terdengar suara amat berisik dan lantang dari balkon.
Serentak semua mata memandang ke atas. Seorang gadis manis berada di balkon, menari berputar-putar sambil bernyanyi-nyanyi sembarangan dengan suara keras dan melengking.
"Mila!" Ibu Wibi dengan panik berseru ke arah putrinya.
Miko untuk sesaat seperti takjub dan terpesona melihat kelakuan adiknya itu.
Namun ketika teriakan dan pelototan Ibu Wibi tak juga menghentikan keanehan Karmila, dengan cepat Miko berlari menaiki anak tangga untuk mendapatkan adiknya.
"Mila! Apa-apaan kamu?! Tidak tahu malu! Siapa suruh kamu ngasih hiburan?"
Miko mendorong tubuh adiknya, menjauh dari pagar balkon agar Karmila tak terlihat oleh orang-orang lagi dari bawah.
Karmila mendadak menghentikan gerakan dan nyanyiannya. Ia menatap saudara tuanya dengan pandangan beringas.
Tanpa sadar Miko melangkah mundur. Ini untuk pertama kalinya ia memperoleh sikap adiknya yang begitu aneh. Mata itu begitu buas dan penuh ancaman!
"Mila! Kamu kenapa?" Tiba-tiba Miko merasa cemas.
Tak ada jawaban, melainkan teriakan dengan irama yang menyakitkan telinga. Sebuah nyanyian, lagu anak-anak dengan nada yang amat sumbang.
"Pelangi-pelangi... alangkah indahnyaaaa...."
Terdengar tawa dan tepuk tangan dari bawah. Terdengar suara Ibu Wibi meminta maaf. Memalukan sekali! Miko bergerak mendekap mulut Karmila, namun Karmila semakin meronta bahkan menggigit telapak tangan kakaknya. Pada saat keduanya masih bergumul, Pak Wibisono telah pula sampai di atas.
"Ada apa? Apa maunya kamu, Mila?!"
Pak Wibisono menghardik, berusaha menutup rasa malunya terhadap tamu-tamunya dengan mengeluarkan suara amarah yang tak kalah lantangnya.
"Mendadak dia kayak kerasukan setan, Pak. Tangan saya malah digigitnya!" Miko yang menjawab sambil terus memegangi tubuh adiknya. Sementara itu Karmila terus bernyanyi dan semakin ngawur.
Plak!
Di luar dugaan, Pak Wibisono menampar pipi putrinya dengan cukup keras. Miko sempat tercengang melihat tindakan ayahnya. Tapi ia lebih terkejut lagi ketika melihat tubuh Karmila mendadak mengejang dan mendadak pula terkulai. Miko dengan sigap memeluk tubuh adiknya sebelum terjatuh.
Hanya beberapa detik tubuh Karmila terkulai tak berdaya. Dalam waktu yang amat singkat, mata Karmila yang semula terpejam telah terbuka. Beberapa kali mata itu terkerjap. Karmila menampakkan ekspresi kebingungan.
"Lho? Ada apa ini?" Karmila meronta dari pelukan kakaknya.
"Mila?" Miko menatap cemas. "Kamu kenapa? Kamu... kamu... tidak apa-apa?"
Karmila nampak semakin kebingungan. "Memangnya saya kenapa?"
"Miko, bawa adikmu masuk ke kamar, sementara Bapak mengurus tamu-tamu. Kamu paham?"
Miko mengerti maksud ayahnya. "Mari ke kamar, Mila!" bujuknya sembari menarik tangan adiknya.
Pak Wibisono telah turun lagi ke lantai bawah, menjumpai tamu-tamunya. Ia meminta maaf atas gangguan kecil yang telah ditimbulkan oleh Karmila, putrinya. Sesaat kemudian para tamu menyalami dan berpamitan.
Setelah suasana sepi, Pak Wibisono menutup semua pintu, lalu dengan tergesa-gesa naik ke lantai atas.
Di kamar putrinya itu, Ibu Wibi tengah menanyai Karmila dengan perasaan cemas.
"Aneh kan, Pak?" Ibu Wibi menatap suaminya kebingungan. "Mila sama sekali lupa dengan apa yang telah dilakukannya tadi..."
Pak Wibisono menatap Karmila meminta penjelasan. Karmila masih duduk sambil mendekap bantal. Barkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mila sungguh-sungguh tidak mengerti, tidak ingat apa-apa. Sumpah! Rasanya... Mila tidak ngapa-ngapain. Tadinya cuma pusing... dan Mila kan sudah ngomong sama Ibu, bahwa Mila sedikit pusing dan ingin rebahan dulu di kamar. Setelah itu... rasanya Mila ketiduran... lalu?"
"Kamu tidak sadar bahwa kamu sudah bikin kacau dan malu-maluin?!" Miko membentak, membuat Karmila sedikit ketakutan."
"Mila bingung!" jerit Karmila.
Pak Wibisono menggeleng ke arah Miko. Menyuruh putranya itu diam. Ia tidak mau Miko menyudutkan Karmila yang tidak tahu apa-apa. Gadis itu semakin terpuruk. Dan ia masih terguncang dengan kejadian yang sama sekali tidak disadarinya itu.
Ia mendekati Karmila, lantas membelai kepalanya dengan lembut.
"Kamu mungkin terlalu capek karena sehari ini bantu-bantu Ibu. Sekarang tidurlah. Masih pusing?"
"Tadi Bapak menampar Mila?"
"Maafkan Bapak...." Pak Wibisono menyentuh pipi Karmila dengan lembut.
Hari semakin larut. Sudah menjelang pukul satu dinihari. Karmila sudah tidur setengah jam yang lalu, setelah Ibu Wibi setengah memaksanya minum aspirin. Tapi Pak Wibisono bersama istri dan anak lelakinya seperti tak ingin segera tidur. Mereka masih membicarakan keanehan yang barusan terjadi. Ibu Wibi mengambil kesimpulan yang cukup menakutkan; Karmila kerasukan setan!
"Mungkin saat itu pikiran Mila tengah kosong, dan...."
"Lalu, arwah siapa?! Jangan-jangan rumah ini 'berpenghuni'?!" Miko menyela dengan mimik ringis.
"Jangan berpikir aneh-aneh, Miko! Kamu mulai lagi terpengaruh film-film horor!"
Ibu Wibi sedari tadi lebih banyak berdiam diri, tapi sesungguhnya ia merasa kahawatir dan ketakutan.
Pagi-pagi sekali ada tamu yang datang. Seorang tetangga baru, laki-laki setengah umur yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman baru keluarga Wibisono.
"Kebetulan saya lewat hendak ke kampung sebelah, lalu mampir," kata laki-laki itu, namanya Pak Wisnu, menjawab keheran Pak Wibisono. "Saya semalam juga datang...."
"Oh, ya. Tentu saja saya masih ingat." Padahal sesungguhnya Pak Wibisono telah lupa. Ia belum bisa mengingat dan belum tahu siapa-siapa persis orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
"Mengenai putri Bapak semalam...."
Sampai di situ, Miko yang tengah mengelap sepeda untuk pergi ke sekolah merasa terusik. Ia menghentikan kesibukannya dan menguping pembicaraan ayahnya dengan Pak Wisnu.
"Apakah Ananda dalam keadaan baik-baik saja?"
Pak Wibisono tertawa kecil. "Karmila tidak apa-apa. Semalam ia hanya merasa kecapekan, lalu begitulah," Pak Wibisono mengangkat bahunya, "sedikit bertingkah aneh. Ah, namanya juga anak-anak."
"Tapi, nyanyiannya itu...?"
Miko merasa amat tertarik.
"Ada apa dengan nyanyiannya? Lucu, ya?" tanyanya akhirnya, setelah tak mampu membendung rasa penasaran. Ia nimbrung kini, melemparkan kain lapnya ke samping sepeda. Berdiri, lalu berjalan menghampiri ayahnya dan Pak Wisnu.
Pak Wisnu seperti menggumam. "Mengingatkan saya pada...."
"Apa, Pak?" Pak Wibisono dan Miko bertanya serempak. Rasa penasaran mereka semakin membuncah.
"Niar."
"Niar? Siapa Niar?! Putri Bapak?" tanya Miko.
"Niar, putrinya Pak Sindhu." Pak Wisnu mengerutkan keningnya, ada bayang ragu tergambar di wajahnya.
"Maksudnya, Sindhu yang dulunya pemilik rumah kami ini?" tanya Pak Wibisono. "Tapi, bukankah Pak Sindhu tidak punya anak? Setahu saya, Pak Sindhu itu seorang duda tanpa anak."
"Pak Sindhu punya anak. Seorang. Namanya Niar. Dulunya... Niar juga suka menyanyi. Anak-anak memang suka bernyanyi, kan?"
"Biasanya begitu," Miko yang menjawab. Ia semakin tertarik dengan setiap ucapan Pak Wisnu. "Oh, jadi sebenarnya Pak Sindhu punya anak perempuan yang bernama Niar. Lalu, di mana sekarang? Ikut ibunya?"
"Ibunya... istri Pak Sindhu telah meninggal dunia, Miko." Pak Wibisono menjelaskan.
Miko masih sangat ingin berbincang-bincang dengan Pak Wisnu, tetapi nampaknya Pak Wisnu agak tergesa-gesa. Sebelum berbicara lebih banyak, ia telah berpamitan. Miko tak punya alasan untuk mencegahnya.
"Mila dipulangkan dari sekolahnya, Miko. Dia sakit...."
Miko menjumpai adiknya terbujur lesu di kamar. Tubuhnya demam. Ibunya telah memberi obat penurun panas dua jam yang lalu, tapi sampai kini suhu badannya tidak juga segera turun.
"Cuma demam biasa kan, Bu? Nanti sore kalau belum membaik, kita bawa ke dokter."
Ibu Wibi mengangguk setuju.
Siang itu Miko makan siang hanya berdua dengan ibunya. Biasanya mereka makan bertiga dengan Karmila. Tapi di tengah acara makan siang yang tak riang itu, tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari kamar Karmila. Seketika Miko dan ibunya teringat kejadian semalam. Miko naik ke lantai atas dan langsung menerjang pintu kamar Karmila.
"Mila?!"
Karmila tak lagi terbujur tak berdaya di atas kasur, melainkan berputar-putar di atas ranjangnya. Bernyanyi dan menari.
"Balonku ada lima... rupa-rupa warnanya... hitam putih...."
"Mila!" gerakan Miko terhenti. Selanjutnya ia berdiri dan memandang tingkah adiknya dengan seksama. Tarian dan lagunya asal-asalan. Dan... suara itu... suara itu bukan suara Karmila!
Miko menegaskan pendengarannya. Bukan suara Karmila yang telah diakrabinya hampir seluruh hidupnya, namun melainkan suara anak perempuan. Kecil dan agak cadel.
"Ibuuuu... Mila kesurupan lagiii!" teriak Miko, antara panik dan ketakutan.
Ibu Wibi telah sampai di lantai atas, dan langsung menjerit histeris. Cemas dan takut bercampur baur menjadi satu. Tapi kemudian Miko lebih cepat menguasai diri dan bertindak. Tamparannya yang cukup keras mendarat di pipi Karmila. Namun di luar dugaan Karmila tidak menjerit kesakitan, melainkan justru membuat gerakan balasan. Begitu cepat, tahu-tahu Miko merasakan pedih di pipinya. Karmila telah melukai pipi kakaknya itu dengan cakaran.
"Pergi! Pergi!" Mata Mila membuas. Tapi setelah itu, ia kembali membuat gerakan. Menari dan menyanyi lagi.
"Cicak-cicak di dinding... diam-diam merayap... datang seekor sapi... hap!"
Tubuh Karmila terjatuh. Untunglah ia masih di atas kasur sehingga kepalanya aman dari benturan benda keras.
"Mila!" Ibu Wibi memburu dan mendapatkan putrinya yang kini tengah terlentang tak berdaya. Keringat bersimbah di wajah Karmila. Tapi setelah diamati, ternyata Karmila telah tertidur, bahkan memperdengarkan dengkuran halus.
Miko dan ibunya saling berpandangan dengan heran. Keterkejutan jelas belum memudar dari wajah mereka.
"Rumah ini ada penghuninya," desis Miko.
Ibu Wibi berkomat-kamit. Nampaknya berdoa.
"Suara siapa? Arwah siapa?" Miko kembali bergumam sendiri.
Sore harinya Pak Wibisono dan istrinya membawa Karmila ke dokter, meskipun badan Karmila sudah tak panas lagi. Karmila sendiri sebenarnya enggan dibawa untuk berobat, karena merasa telah sehat. Anehnya, seperti semalam, ia juga tak ingat telah berbuat ganjil, bahkan telah melukai wajah kakaknya sendiri.
Ketika rumah telah sepi, Miko juga keluar rumah. Sejak siang tadi, ia telah menetapkan niat untuk menemui Pak Wisnu yang datang tadi pagi. Begitu banyak informasi yang ingin ia ketahui, terutama mengenai tempat tinggal barunya. Di lingkungan barunya ini, Miko merasa hanya baru mengenal Pak Wisnu. Sampai detik ini, Miko hanya punya anggapan bahwa keanehan yang diperlihatkan Karmila pasti ada kaitannya dengan rumah baru mereka.
Tak sulit untuk menemukan rumah Pak Wisnu di lingkungan yang tidak terlalu padat itu. Dan Miko agak lega karena ia disambut dengan baik dan ramah oleh Pak Wisnu.
"Ada apa Ananda datang kemari? Nampaknya ada sesuatu yang amat penting sekali...," sambut Pak Wisnu seketika, begitu melihat Miko datang dengan wajah keruh.
"Adik saya kesurupan lagi...."
"Kesurupan? Maksudnya, seperti semalam lagi? Masya Allah... saya tadinya hendak berkata begitu, tapi takut menyinggung perasaan ayahmu."
"Ja-jadi, Bapak pun tahu bahwa Karmila, adik saya, kesurupan setan?" Miko semakin antusias.
"Ada arwah yang merasuki adikmu...."
"Persis! Saya pun beranggapan begitu. Tapi, Bapak saya selalu menilai saya kelewatan, mengada-ada."
Pak Wisnu mengangguk-angguk, tanda memahami.
"Apakah ada kaitannya dengan rumah kami?"
"Saya tidak berani memastikan begitu. Tapi...."
"Apakah sebelumnya pernah terjadi keanehan di rumah itu? Sejak semula saya kurang setuju kalau Bapak saya membeli rumah hantu itu."
"Rumah hantu?"
"Mirip, kan? Suasananya begitu..." Miko berhenti sebentar. "Tunggu! Sekarang saya ingat lagi...."
"Selama ini tidak pernah terjadi keanehan di rumah itu, kecuali...."
"Tunggu dulu, Pak. Sekarang saya yakin bahwa suara nyanyian dari mulut adik saya sama sekali bukan suaranya. Melainkan...."
"Suara anak-anak?" potong Pak Wisnu.
"Ya, betul!"
Sebentar, Pak Wisnu seolah membantu dengan mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. "Di telinga saya, suara itu adalah suara Niar."
"Bapak yakin?"
"Dulu saya sering datang ke rumah itu untuk memotong rumput. Beberapa kali dalam sebulan Pak Sindhu mengupah saya untuk membersihkan halaman rumahnya. Memotong rumput, memangkas pohon. Jadi, saya sudah hapal dengan suara dan nyanyian Niar. Kasihan anak itu...."
"Tapi, kata Bapak saya, Pak Sindhu tidak memiliki anak."
"Bohong. Mungkin ia hanya malu karena...." Pak Wisnu ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Karena apa, Pak?" Miko mendesak.
Pak Wisnu menarik napas panjang terlebih dahulu. "Putri satu-satunya itu berubah ingatan!"
"Mak-maksud Bapak, gila?!"
Pak Wisnu menghela napas panjang lagi. "Panjang ceritanya. Tapi semua warga di daerah ini tahu persis peristiwa menyedihkan yang dialami keluarga Pak Sindhu."
Miko takzim menyimak.
"Pak Sindhu mewarisi rumah tua itu dari kakeknya. Ia tinggal bersama istrinya yang cantik hingga kemudian dikaruniai seorang putri yang cantik. Niar namanya. Ia buah hati kedua orangtuanya. Sayang kebahagiaan mereka terenggut. Suatu hari mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan fatal. Istri Pak Sindhu meninggal dalam kecelakaan itu."
"Juga Niar?" Miko semakin antusias.
"Tidak. Niar selamat meski harus menjalani banyak waktu untuk perawatan. Dan ia... ia mengalami gangguan otak. Ia mengalami gegar otak berat karena benturan keras dalam kecelakaan tersebut. Berbagai cara telah ditempuh, namun hasilnya... entahlah, hanyan Pak Sindhu yang tahu. Setahu kami, Niar tumbuh semakin dewasa, tapi tingkah dan kemampuannya abnormal — tetap seperti anak kecil. Ia didiagnosis mengalami gangguan mental karena gegar otak akut. Bertahun-tahun Pak Sindhu hidup berdua dengan Niar yang tidak waras. Kala kecelakaan maut itu, Niar baru jalan lima tahun, hingga sekarang... mungkin usianya limabelas tahun."
"Sama dengan usia Karmila," desis Miko.
"Tapi anehnya," lanjut Pak Wisnu," Niar tiba-tiba tak pernah kelihatan lagi. Orang-orang tak pernah lagi mendengar lagu-lagunya yang lucu dan racau."
"Sejak kapan?"
"Hampir setahun yang lalu, tepatnya sebelum Pak Sindhu menikah lagi. Waktu itu...."
"Tunggu dulu, Pak! Jadi, Pak Sindhu sudah punya istri lagi?"
Pak Wisnu mengangguk. "Waktu itu, sejak wanita yang kemudian dipersunting Pak Sindhu hadir, Niar telah tidak kelihatan lagi. Katanya, entah siapa yang bilang, Niar dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kasihan, kan?"
"Seharusnya memang begitu."
"Kenapa tidak dulu-dulu?"
"Pasti Pak Sindhu sudah banyak berupaya."
"Ya, mungkin begitu. Ah, orang itu memang amat tertutup sejak istrinya meninggal. Ketika menikah, orang-orang di sini pun tak ada yang diundangnya ke pesta pernikahannya."
"Mereka menikah di sini?"
"Tidak. Kabarnya mereka menikah di kota istri barunya. Dan sejak saat itu, rumah yang kalian tempati itu dikosongkan. Hanya sesekali saja Pak Sindhu datang menengok."
"Pantas rumah itu kurang terawat," gumam Miko.
"Hampir setahun ditinggalkan."
"Apakah ada sesuatu yang tak wajar di rumah itu sehingga Pak Sindhu meninggalkan rumahnya, bahkan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat murah. Rumah tersebut sebenarnya sangat artistik, bukan?"
Pak Wisnu memainkan jari-jarinya. "Seingat saya tak ada yang aneh di rumah itu. Tak pernah."
"Mungkin ada hantunya...."
Pak Wisnu menggeleng.
"Jangan karena ada saya, Pak...."
"Oh, tidak! Rumah itu biasa-biasa saja. Sekali pun tak pernah ada kejadian aneh, apalagi menyeramkan. Kesannya saja yang angker, karena tidak terawat dan catnya yang kusam termakan cuaca."
"Lalu, kejadian apa yang telah menimpa adik saya? Kenapa bisa seperti itu? Kerasukan, seperti orang gila dan...."
"Saya bukan orang pintar, bukan dukun atau paranormal. Untuk urusan kerasukan setan, mungkin bisa diatasi oleh mereka, yang ahli ilmu gaib."
"Mudah-mudahan dokter bisa mengatasi. Mungkin Karmila memang sakit dah harus diobati...," gumam Miko.
"Saya harap begitu," ucap Pak Wisnu. Ucapan bernada bimbang.
Ibu Wibi kembali terguncang. Tengah malam, ketika semua baru saja terlelah, Karmila kembali bertingkah aneh. Kembali menari dan bernyanyi seperti orang gila. Pak Wibisono dan Miko berusaha memegangi tubuh Karmila, malahan terlempar ketika gadis itu meronta-ronta. Di tengah-tengah kepanikannya, tiba-tiba Miko ingat kisah yang dituturkan Pak Wisnu.
Miko telah berdiri persis di depan Mila yang masih berputar-putar dan menyanyikan lagu anak-anak dengan suara yang aneh.
"Niar!" suara Miko keras menghardik.
Pak Wibisono kaget, sekaligus khawatir melihat tindakan Miko yang menurutnya sangat aneh. Tapi di luar dugaan, hardikan itu seketika menghentikan gerakan dan suara Karmila.
"Kamu Niar bukan? Kamu arwah Niar?!"
"Miko! Jangan macam-macam! Adikmu lagi sakit. Ia mengigau karena demamnya datang lagi!" Pak Wibisono mendorong tubuh Miko.
"Niar!" Miko tak mempedulikan ayahnya lagi. Ia sekali lagi menghardik. "Jika kamu berniat baik dan tak ingin mengganggu, pasti kamu mau menjawab. Kamu Niar, bukan?"
Tiba-tiba Karmila menjatuhkan diri ke lantai, lalu menangis. Ia menangis sembari menggelosoh di lantai, seperti kelakuan seorang anak kecil. Miko mendengar tangis seorang bocah!
Pak Wibisono dan istrinya tak bisa berbuat banyak, kecuali memandang anak laki-lakinya itu, yang kini berjongkok sambil membelai kepala Karmila.
"Niar... Niar...," katanya lembut. "Kami semua orang baik-baik dan tidak ingin mengganggu kamu. Tolong katakan... apa yang kamu mau? Tolong, kasihanilah adikku. Niar... Niar...."
Pak Wibisono dan istrinya menjadi takjub luar biasa manakala tiba-tiba Karmila menghentikan tangisnya.
Karmila berdiri setelah meraih lengan Miko, serta menarik kakaknya hingga berdiri juga. Sebelum Miko paham, ia terpaksa menurut ketika Karmila menariknya menuruni tangga. Karmila berhenti di anak tangga terakhir. Miko masih terus dipegang pergelangan tangannya oleh Karmila, seakan-akan orang buta yang ditunjukkan jalannya. Di samping tangga menuju lantai atas itu, mendadak Karmila kembali menangis. Berkali-kali ia menunjuk ke arah dinding di bawah tangga itu.
"Bongkar! Bongkar! Bongkar!" teriak Karmila berkali-kali bagai histeris. Ia terus menunjuk dinding di bawah tangga itu.
Miko kebingungan lagi. Ia memandang kedua orangtuanya yang juga sama-sama bingung.
Tangis Karmila semakin keras. Ia kembali meronta-ronta dan menggelosoh di lantai, mirip kelakuan bocah kecil yang dikecewakan.
Setelah itu Karmila terkulai, tertidur di lantai yang dingin dengan keringat bersimbah di sekujur tubuhnya. Ketika Miko dengan susah-payah membopong Karmila ke kamar ibunya, Pak Wibisono menguntit dari belakang dengan sikap tak berdaya.
"Niar? Siapa Niar?"
"Anak Pak Sindhu. Bapak lupa cerita Pak Wisnu tadi pagi?"
Setelah Karmila ditidurkan, Pak Wibisono dan istrinya duduk rapi di depan anak laki-lakinya. Miko menceritakan pertemuan dengan Pak Wisnu. Ia menceritakan kembali apa yang telah didengarnya dari Pak Wisnu.
"Aneh juga. Sekian pertemuan dengan Pak Sindhu, ia tak pernah bercerita perihal keluarganya, apalagi tentang anaknya yang mengalami gangguan mental. Bapak bahkan sama sekali tidak tahu bahwa Pak Sindhu telah beristri lagi."
"Mungkin masih ada rahasia-rahasia yang sengaja disembunyikan olehnya. Rahasia-rahasia rumah ini," kata Ibu Wibi. Ia tak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya. "Lalu, apa hubungannya dengan Niar? Apa betul orang yang belum mati bisa merasuki Mila? Aneh!"
"Bongkar...?!"
Miko tengah berpikir keras.
Hari ini Pak Wibisono berjanji hendak menemui seorang paranormal kenalannya sepulang dari kantor, untuk membicarakan keanehan yang terjadi pada Karmila. Ibu Wibi dan Miko amat mendukung keputusan Pak Wibisono itu, namun Miko juga punya rencana lain.
Pulang sekolah, Miko tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berbelok ke rumah Pak Wisnu. Untunglah Pak Wisnu juga sedang ada di rumah.
Ketika telah berhadapan dengan orang tua itu, Miko langsung menceritakan kejadian semalam.
"Dinding di bawah tangga?" Pak Wisnu memotong cerita Miko.
"Niar... maksud saya Karmila, menunjuk-nunjuk dinding di bawah tangga itu. Bongkar! Bongkar! Begitu katanya, Pak."
Pak Wisnu nampak berpikir. Ia tengah menggali ingatannya.
"Saya sering masuk ke rumah itu dan tahu persis situasi dari ruang-ruang di dalam. Tapi seingat saya, di bawah tangga ke atas itu sengaja dibiarkan terbuka. Tentu saja terbuka, karena jadi ruang kecil yang dimanfaatkan sebagai gudang. Betul! Saya selalu mengambil sabit dan gunting rumput dari bawah tangga," ungkapnya.
"Nanti dulu! Bapak pasti salah ingat. Tak ada ruang di bawah tangga. Yang ada cuma dinding!"
"Bongkar...?" Pak Wisnu bergumam. Lalu tiba-tiba: "Ayo kita ke rumahmu!"
Miko terbawa oleh semangat Pak Wisnu. Hanya dalam dua kali pertemuan, ia telah merasa akrab dengan Pak Wisnu. Tidak lama berselang sesampainya di rumah, Ibu Wibi tidak bisa berbuat banyak kecuali membiarkan Pak Wisnu masuk ke rumah. Ia percaya sepenuhnya pada Miko. Dan semua demi kebaikan Karmila!
"Dinding ini!" Miko menunjuk dinding di sisi tangga, atau lebih tepat disebut di bawah tangga. Semestinya ada ruang berbentuk segitiga di bawah tangga itu, namun yang ada adalah dinding. Dinding yang menutup ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga.
"Dulu dinding ini tidak ada!" kata Pak Wisnu spontan. Spontan pula ia memukul-mukul permukaan dinding itu. "Nah, benar bukan? Dengarkan suaranya! Di balik dinding ini ada ruang kosong. Di sinilah dulu saya mengambil dan menaruh kembali peralatan kebun."
Miko ikut memukul-mukul dan akhirnya membenarkan ucapan Pak Wisnu.
"Ini dinding baru. Lihat perbedaan warnat catnya. Beda, kan? Dinding ini lebih baru dan... sayangnya agak asal-asalan membuatnya. Siapa tukang borong yang membuatnya?" Pak Wisnu berkata pada dirinya sendiri.
Selagi keduanya, ditambah kemudian dengan Ibu Wibi, masih memeriksa dinding itu, terdengar suara langkah tergesa menuruni anak tangga.
"Bongkar!"
Mereka bertiga menoleh dan tercekat.
"Mila?!" Ibu Wibi dan Miko menjerit serentak.
"Niar?" Pak Wisnu berkomat-kamit.
Mulut Karmila yang mengeluarkan keluhan amarah, berangsur-angsur berubah menjadi tangisan pilu. Tangis seorang bocah!
Mulut Pak Wisnu masih komat-kamit. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya, meniupkan tiga kali, lalu melangkah mendekati Karmila. Tangan Pak Wisnu terulur maju dan tahu-tahu telapak tangannya mengusap wajah Karmila.
Miko dan Ibu Wibi kian terpukau ketika melihat Karmila seperti terhentak. Seketika pula ekspresi wajah dan cahaya matanya berubah.
"Ibu...?" Karmila menatap ibunya dan kakaknya bergantian. Matanya seperti seorang yang baru bangun dari tidur. "Pada mau ngapain?"
"Anu... Non, Ibu menyuruh saya membongkar dinding ini." Pak Wisnu justru yang menjawab sambil menunjuk dinding di bawah tangga.
"Lho, kenapa?" Karmila terheran-heran.
"Karena bisa untuk gudang, Mila," kata Miko.
Ibu mengangguk. Artinya, di antara mereka bertiga, tanpa harus bicara, telah ada kesepakatan bahwa dinding itu harus dibongkar.
Ibu Wibi mengajak Karmila kembali ke kamar.
"Ternyata Pak Wisnu punya ilmu."
"Ilmu apa? Cuma kemampuan kecil. Ananda pun bisa belajar. Cuma doa."
Miko tersenyum puas. "Kemarin-kemarin kami selalu kerepotan mengatasi Karmila, tapi ternyata Pak Wisnu cuma dengan sekali sentuhan, Karmila seketika sadar. Hebat!"
Miko teringat ayahna. Pasti akan ada perdebatan terlebih dahulu. Tapi mengingat kemampuan Pak Wisnu dalam menyadarkan Karmila tadi, timbullah kepercayaan Miko padanya. Nampaknya Pak Wisnu langsung melihat, atau setidaknya memiliki firasat tertentu. Dan Miko percaya, di balik sikapnya yang selalu merendah, sesungguhnya Pak Wisnu punya kemampuan ekstra melebihi orang kebanyakan.
Mungkin semacam kekuatan supranatural.
"Bagaimana? Ananda setuju saya bongkar dinding ini?"
Bagaimana jika Bapak marah? Tapi Ibu pun sudah setuju! batin Miko.
"Saya carikan alatnya, Pak. Sekarang juga!" kata Miko akhirnya dengan suara mantap. Ya, semua ini demi kebaikan Karmila!
Sesaat kemudian Pak Wisnu dan Miko cukup menimbulkan kegaduhan. Dengan hanya menggunakan sebuah palu yang cukup besar, mereka bergantian membobol tembok di bawah tangga itu. Miko merasa, Pak Wisnu amat bersemangat. Ia bekerja tanpa banyak bicara. Tapi ketika ia telah berhasil membuat lubang sebesar kepala kerbau, sejenak Pak Wisnu berhenti. Miko pun secara refleks mendekap hidungnya.
Ada bau tak sedap keluar dari lubang yang telah berhasil dibuat itu.
"Mundur!" perintah Pak Wisnu pada Miko.
Lalu, ia mengatur sikap membuat ancang-ancang dan mengayunkan martil sekuat tenaga.
Sebuah lubang yang cukup besar telah tercipta, dan itu cukup membuat keduanya dengan mudah melihat sesuatu yang berada di balik dinding itu.
Miko melipat korannya dengan wajah puas. Ada perasaan bangga karena di dalam berita itu namanya disebut-sebut sebagai orang yang punya peranan penting atas terbongkarnya kasus pembunuhan yang cukup unik itu.
Akhirnya, tanpa kesulitan yang berarti, pihak yang berwajib berhasil menemukan dan memenjarakan Pak Sindhu. Akhirnya terungkap juga semua alasan yang membuat Pak Sindhu tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Alasan yang kedengarannya tak masuk akal. Pak Sindhu malu jika calon istri barunya mengetahui bahwa ia punya seorang anak, apalagi seorang anak perempuan yang gila.
Jangan-jangan Sindhu itu juga bukan orang waras, batin Miko.
"Kopinya, Miko."
Miko menoleh. Ibu Wibi mengangsurkan segelas kopi kepadanya.
"Enak saja! Ini buat Pak Wisnu. Suruh ia istirahat sebentar. Kasihan, dari pagi belum berhenti. Dia memang rajin...."
Miko segera membawa segelas kopi itu ke dalam. Di bawah tangga dilihatnya Pak Wisnu masih sibuk dengan adonan semennya.
"Ngopi dulu, Pak."
Pak Wisnu tersenyum. "Sedikit lagi beres, kan? Besok tinggal mengecat dan... kembali seperti semula. Seperti setahun yang lalu."
"Bagus. Bagaimanapun, seharusnya itu memang dibiarkan terbuka, dan dimanfaatkan untuk gudang."
Miko memandang ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga itu. Ia teringat kembali seperti apa perasaannya waktu itu. Ia masih bisa membayangkan bagaimana dan seperti apa mayat yang belum seluruhnya hancur itu. Bahkan pakaiannya masih utuh dan tali yang melingkar di leher itu pun masih utuh. Kurun waktu setahun dalam ruang tertutup amat rapat membuat mayat itu tidak cepat rusak.
Mayat Niar.
Miko masih sering berpikir, apakah arwah penasaran Niar juga akan merasuki orang, jika orang itu bukan Karmila? Bagaimana jika yang datang sebagai penghuni bukan anak perempuan yang kebetulan sama persis tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya dengan Niar?
Barangkali kasus terbunuhnya Niar tak pernah terungkap. Karmila sendiri sudah tidak terlalu merisaukan keanehan-keanehan yang pernah menimpa dirinya.
Ia menganggap dirinya hanyalah media yang dipakai arwah Niar untuk membuka dan menyingkap kejahatan dan kekejian ayahnya sendiri.
Luar biasa.
Buktinya, sejak jasad Niar dikebumikan dengan layak, dan kejahatan Pak Sindhu terungkap, Karmila tak pernah lagi mengalami hal-hal aneh maupun kesurupan.
"Tidak usah terlalu bagus, Pak Wisnu...."
Miko dan Pak Wisnu menoleh. Yang datang adalah Pak Wibisono.
"Bapak ini!" kata Miko. "Tentunya Bapak setuju jika kita mempertahankan keaslian rumah antik ini, kan? Kita tidak tahu, tapi Pak Wisnu lebih tahu seperti apa bentuk kolong tangga ini dulunya...."
"Iya, tapi apa artinya jika sebentar lagi Bapak akan menjualnya?"
"Menjual rumah ini?" Miko terpukau.
Pak Wibisono tertawa gembira. "Kenapa tidak? Karena foto rumah kita beberapa kali muncul di koran, ternyata berakibat bagus. Ada sekian penggemar bangunan kuno yang tertarik untuk membeli dengan harga istimewa."
"Apa tidak sayang, Pak?"
"Kalau mereka berani membayar tiga kali lipat dari nilai beli kita?"
"Terserah Bapak. Mungkin dengan begitu kita bisa membuat rumah yang betul-betul baru. Tanpa masalah, tanpa misteri...."
Pak Wibisono tersenyum. ©
TAMAT